Korban MBG Kian Meningkat, Yakin Anggarannya Naik Jadi Rp335 Triliun?

Kasus keracunan akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terulang dan menimbulkan keresahan publik. Berdasarkan data Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang disampaikan kepada publik oleh Kepala Staf Presiden, tercatat lebih dari 5.000 siswa mengalami keracunan. Per 23 September 2025,  Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) telah mencatat tambahan kasus keracunan yang mencapai 5.360 kasus (Tempo, 23 September 2025).

Terbaru, kasus keracunan di Kabupaten Sukabumi menjadi bukti ilmiah bahwa makanan MBG yang dibagikan kepada peserta didik telah terkontaminasi jamur dan bakteri. Berdasarkan hasil laboratorium pada makanan di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Cidolog, ditemukan adanya jamur (Coccodiodesimmitis) pada semangka, bakteri (Enterobacter cloacae) pada tempe orek, dan bakteri (Macrococcus caseolyticus) pada telur dadar (Kumparan, 24 September 2025). Bakteri dan jamur pada makanan dapat timbul karena penyimpanan makanan pada suhu ruang yang terlalu lama.

Temuan ini selaras dengan hasil kajian The Indonesian Institute yang merekomendasikan agar SOP keamanan pangan dan kapasitas pengelola SPPG harus sesuai dengan standar, yaitu melalui adanya audit kepemilikan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan pada seluruh SPPG yang beroperasi. Standardisasi keamanan pangan ini bermanfaat untuk memitigasi kontaminasi jamur dan bakteri pemicu infeksi pencernanan serta memastikan rantai distribusi makanan yang aman.

Meski keracunan telah memakan banyak korban, MBG masih dilanjutkan tanpa ada transparansi metode evaluasi partisipatif yang akan ditempuh. Fatalnya, anggaran MBG pun membengkak hingga Rp335 triliun yang sebagian besar mengambil jatah dari dana pendidikan Indonesia sebesar Rp223 triliun (Kompas.com, 24 September 2025). Padahal, sektor pendidikan masih menghadapi masalah mendesak, yaitu peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru, akses teknologi, pemerataan sekolah, serta pembangunan ekosistem inklusif untuk siswa disabilitas, termasuk ketersediaan Sekolah Luar Biasa, dan guru pembimbing khusus.

Alih-alih meningkatkan anggaran MBG tanpa mengkaji kesiapan pelaksanaan program serta transparansi evaluasi kepada publik, berikut hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, jangan jadikan besarnya target program MBG di tahun ini yang mencapai 82,9 juta penerima membuat implementasi program hanya berfokus pada besarnya jumlah penerima program tanpa mengutamakan kualitas makanan. Audit berkala wajib dipastikan terhadap kepatuhan SPPG pada SOP keamanan pangan dan kepemilikan SLHS sebagai prasyarat operasional. BGN dan segenap jajarannya juga harus sigap untuk menindaklanjuti permasalahan MBG yang terus berulang.

Untuk menjamin kesiapan SPPG, MBG harus dimoratorium terlebih dahulu agar bisa dievaluasi secara menyeluruh untuk memetakan semua permasalahan MBG, terutama faktor buruknya kualitas makanan. BGN dan segenap jajaran juga harus menindaklanjuti masukan dari beragam pihak yang berbasis data dan bukti untuk perbaikan MBG ke depan. Hasil pemetaan ini menjadi basis perbaikan desain program agar ke depannya tidak kembali mengorbankan nyawa penerima. Bahkan, menimbulkan trauma bagi penerima dan orang tua korban. Besarnya anggaran MBG harus pemerintah pertanggungjawabkan dengan berani membuat dashboard pemantauan MBG secara publik disertai kanal pengaduan MBG.

Kedua, kerangka kebijakan yang memperjelas peta jalan pelaksanaan MBG, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur tentang MBG harus segera disahkan. Kajian TII menemukan bahwa sampai saat ini aktor di daerah kebingungan untuk mengambil peran karena tidak adanya wadah koordinasi, alokasi anggaran, dan mandat yang jelas untuk tiap sektor. Perpres menjadi kunci agar kewenangan antar sektor menjadi jelas untuk memitigasi lempar kewenangan, kebingungan aktor, dan memperjelas efektivitas alokasi anggaran MBG.

Ketiga, evaluasi MBG harus transparan dan partisipatif. Siswa, guru, orang tua, masyarakat sipil, dan akademisi perlu dilibatkan untuk menilai distribusi, komposisi menu, dan kondisi kesehatan penerima. Makanan harus berbasis pangan lokal, bergizi jelas, bebas bahan ultraproses, dan disesuaikan dengan selera siswa untuk meminimalkan sampah makanan.

Keempat, MBG harus difokuskan pada provinsi dengan prevalensi stunting dan kemiskinan tertinggi, serta dikombinasikan dengan edukasi gizi seimbang. Evaluasi dampak, termasuk pengukuran baseline dan endline status gizi, harus diprioritaskan agar MBG benar-benar meningkatkan gizi secara adil dan berkelanjutan. Tanpa perbaikan menyeluruh, MBG berisiko boros anggaran, minim manfaat, dan hanya memakan korban. Evaluasi wajib dilakukan sebelum melanjutkan MBG dan menaikkan anggarannya.

 

Made Natasya Restu Dewi Pratiwi

Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
natasya@theindonesianinstitute.com 

Komentar