Invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai 24 Februari 2022 lalu berdampak buruk bagi banyak pihak, utamanya masyarat sipil Ukraina yang termasuk di dalamnya adalah perempuan dan anak-anak. Satu pekan setelah invasi Rusia dimulai, satu juta pengungsi melarikan diri dari Ukraina. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah (aljazeera.com,03/03/2022).
Kebanyakan penduduk yang mengungsi keluar dari Ukraina adalah perempuan dan anak-anak. Sementara laki-laki di sana diminta untuk tetap tinggal dan membantu berperang. Ivanka, perempuan sekaligus seorang ibu dari empat anak dari Kota Lviv di Ukraina mengungkapkan alasannya pergi dari negaranya sebab masifnya sirene serangan udara di sana yang tidak baik bagi perkembangan anak-anaknya (thenationalnews.com, 27/02/2022). Selain sirene, banyaknya senjata peledak di daerah berpenduduk dan sisa bahan peledak perang juga merupakan bahaya yang nyata bagi anak-anak di sana (unicef.org, 28/02/2022).
Di Kharkiv, kota terbesar kedua di Ukraina, dan kota-kota sekitarnya, rentetan penembakan berat terus berlangsung. Dalam kurun waktu 3 Maret hingga 4 Maret 2022, 34 orang tewas dan 285 terluka di wilayah tersebut, termasuk 10 dintaranya adalah anak-anak (nbcnews.com, 04/03/2022).
Tidak hanya itu, menurut pernyataan Direktur Eksekutif United Nations Children’s Fund (UNICEF), Chatherine Russell, pihaknya menerima laporan bahwa rumah sakit, sekolah, fasilitas air dan sanitasi, serta panti asuhan di Ukraina terbakar. Akibat kerusakan infrastruktur tersebut, ratusan ribu orang di sana bertahan hidup tanpa air bersih yang aman dan listrik. Banyak orang juga terputus dari akses terhadap layanan kesehatan.
Minimnya air bersih akibat kerusakan infrstruktur di Ukraina berdampak buruk bagi penduduk sipil, utamanya perempuan. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, perempuan adalah pihak yang paling banyak membutuhkan air. Misalnya saat datang bulan, hamil, alokasi kebutuhan air untuk anak, dan lain-lain.
Lebih lanjut, menurut Perwakilan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Kekerasan Seksual dalam Konflik, Pramila Patten, konflik yang terjadi di Ukraina meningkatkan risiko kekerasan seksual dan eksploitasi. Sebelumnya, kita tahu bahwa angka kekerasan seksual di dunia masih tinggi, dan perempuan adalah salah satu pihak yang paling dirugikan.
Penduduk sipil di Ukraina, termasuk perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling dirugikan dalam segala aspek. Bukan hanya fisik, namun juga psikis, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, dan lain sebagainya. Berbagai dampak negatif akibat konflik tersebut juga berimbas pada mundurnya pencapaian target pembangunan berkelanjutan baik itu di Ukraina maupun negara-negara lain yang terdampak.
Oleh karena itu, PBB perlu terus mendesak Rusia agar menghentikan invasinya. Selain itu, Rusia dan Ukraina harus memilih jalan dialog ketimbang perang dalam menyelesaian konflik kepentingan mereka. Terakhir, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri dan Presiden dapat menjadi penengah antara Rusia dan Ukraina untuk menyelesaikan konflik mereka, sebab Indonesia tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kedua belah pihak. Terlebih lagi saat ini Indonesia menjadi Ketua Presidensi Group of Twenty. Bagaimanapun juga, perang tidak dapat dibiarkan mengingat banyaknya dampak negatif terjadi yang diakibatkan olehnya.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nisaaul@theindonesianinstitute.com