Kenaikan tarif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga 100 persen mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Kenaikan dianggap memberatkan masyarakat.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan selain memberatkan juga akan berdampak pada jatuhnya daya beli masyarakat.
Dia mencotohkan untuk peserta kelas III yang rencananya naik dari Rp 25 ribu menjadi Rp 42 ribu, jika dalam satu keluarga terdiri dari suami, istri, dan tiga orang anak (satu keluarga terdiri dari 5 orang) maka dalam sebulan harus membayar Rp210 ribu.
“Bagi warga Jakarta dengan standar upah minimum Rp3,9 juta, mungkin tidak memberatkan. Walaupun belum tentu warga Jakarta setuju dengan kenaikan iuran itu,” kata Said Iqbal dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (4/9).
Tetapi jika dibandingkan dengan kabupaten/kota yang upah minimumnya di bawah Rp2 juta, mereka jelas akan kesulitan membayar iuran. Misalnya masyarakat di daerah seperti Ciamis, Tasikmalaya, Jogjakarta, Sragen.
“Bagi daerah yang upah minimumnya di kisaran Rp1,5 juta, mereka tentu berat mengeluarkan biaya sebesar 210 ribu atau hampir 20 persen dari pendapatannya,” kata Iqbal.
Terlebih, uang itu adalah uang yang hilang. Dalam artian mau dipakai atau tidak, uangnya tidak bisa diambil kembali.
“Satu hal yang harus disadari, setiap tahun iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan buruh selalu ada kenaikan,” katanya.
Dijelaskannya, iuran BPJS Kesehatan dari buruh besarnya lima persen dari upah. Dimana empat persen dibayarkan pengusaha dan satu persen dibayarkan buruh. Ketika setiap tahun upah mengalami kenaikan, maka tiap tahun juga iuran BPJS buruh naik. “Jangan dipikir setiap tahun tidak ada kenaikan,” tegasnya.
Lebih lanjut, menurut Iqbal, BPJS Kesehatan adalah asuransi sosial yang dikelola oleh negara. Oleh karena itu, asuransi sosial asing tidak boleh ikut campur dalam mengelola BPJS Kesehatan, karena melanggar konstitusi.
Penolakan juga disuarakan Komunitas Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) DKI Jakarta. wujud penolakan dilakukan dengan menggelar aksi di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/9).
Pimpinan aksi, Nur Adim mengatakan kenaikan iuran BPJS memberatkan masyarakat dan menilai pelayanan BPJS masih belum maksimal.
“Sekarang iuran BPJS itu seperti yang disampaikan Menteri Keuangan, akan naik. Artinya alasan defisit pengelolaan BPJS dibebankan kepada masyarakat. Pelayanan belum maksimal tapi sudah harus dibebankan kepada masyarakat dan APBN,” kata Nur.
Selain itu, SRMI juga meminta BPJS dikembalikan ke sistem jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang dikelola langsung pemerintah.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Vunny Wijaya, setuju dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Akan tetapi, yang perlu dilakukan adalah peninjauan ulang besaran tarif tersebut.
“Bagaimanapun kenaikan iuran juga harus memperhatikan faktor lain seperti kondisi ekonomi terkait inflasi dan taraf hidup penerima bantuan,” kata Vunny.
Dia mengatakan pemangku kepentingan harus mempertimbangkan secara cermat besaran iuran tersebut. Dengan kata lain, pengambilan keputusan harus sejalan dengan prinsip penyelenggaraan BPJS Kesehatan, yaitu kehati-hatian yang berarti prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan tertib.
Menurut Vunny, usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) layak untuk dipertimbangkan. Namun, besaran kenaikan iuran juga harus dicermati khususnya besaran iuran kelas I yang naik hingga Rp80 ribu.
Sumber: Babelpos.co