Koran Tempo 7 Maret 2011
Isu perombakan koalisi berembus kian kencang pascapenolakan penggunaan hak angket pajak oleh DPR. Kegaduhan koalisi memang menjadi problem langganan sepanjang hampir tujuh tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Koalisi ini menjadi problematik–selain implikasi kerancuan kombinasi presidensial dan multipartai–karena komposisinya terlalu besar, yang justru melemahkan soliditas dan kohesivitas koalisi. Hal ini terjadi karena Yudhoyono terlalu mementingkan keseimbangan politik dan ingin memuaskan semua pihak dengan merangkul hampir semua partai ke dalam kabinet.
Koalisi semakin rapuh karena dibangun di atas fondasi kepentingan pragmatisme kekuasaan (pembagian kursi kabinet) dan kepentingan ekonomi politik (perburuan rente) partai-partai, ketimbang kedekatan ideologi atau persamaan platform. Karena itulah, karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin, pragmatis, dan oportunistik. Akibatnya, pola relasi yang terbangun di dalam koalisi bersifat transaksional. Pada kondisi seperti inilah munculnya manuver “politik dua kaki”–berkoalisi dalam pemerintah (kabinet) sekaligus memainkan peran oposisi di parlemen–partai koalisi, seperti halnya sikap Golkar dan PKS dalam voting angket pajak di DPR baru-baru ini.
Golkar-PKS
Golkar, misalnya, sebagai partai terbesar kedua di parlemen, tentu saja menginginkan kekuasaan yang lebih optimal. Benar bahwa Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) menduduki jabatan strategis sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan Partai Koalisi. Meskipun demikian, Golkar sejatinya belum memiliki ruang manuver yang leluasa dalam memengaruhi kekuasaan pemerintah. Paling tidak, bagi Golkar, skenario penambahan jatah menteri di setiap reshuffle seperti masa pemerintahan Yudhoyono-Kalla dapat tercapai. Apalagi kasus Gayus, yang kerap dikaitkan dengan nama Ical, berpotensi menyandera Golkar. Pada kondisi seperti ini, sangat mungkin Golkar memperkuat peran politik dua kakinya, dengan memperkuat peran oposisi di parlemen.
Sementara itu, PKS mengusung angket, selain untuk memperkuat citra politik di kalangan konstituen, guna menaikkan posisi tawar di dalam koalisi. PKS juga secara psikologis mengalami akumulasi kekecewaan di dalam koalisi. Keputusan Yudhoyono menggandeng Golkar bergabung dalam koalisi, mendukung calon dari partai oposisi Taufiq Kiemas sebagai Ketua MPR ketimbang Hidayat Nur Wahid yang diusung PKS, serta memilih Ical sebagai Ketua Harian Setgab Partai Koalisi, paling tidak, menjadi rentetan kekecewaan yang dialami PKS selama berada di dalam koalisi. Pada kondisi seperti ini, PKS juga memperkuat peran oposisi di parlemen.
Manuver politik dua kaki PKS dan Golkar memanfaatkan ketidaktegasan kepemimpinan Yudhoyono, ketidakjelasan Piagam Koalisi, serta kerentanan kombinasi presidensial-multipartai. Seandainya Yudhoyono tegas dalam memimpin koalisi serta jelas dan gamblang dalam menyusun kontrak koalisi agar tidak multitafsir, setidaknya hal-hal itu dapat mengurangi ruang gerak manuver partai-partai di dalam koalisi.
Namun, terlepas dari berbagai hal tersebut, untuk konteks komitmen dan konsistensi dalam berkoalisi, jika partai-partai mitra koalisi yang berseberangan dengan pemerintah (Golkar dan PKS) memiliki keyakinan kebenaran atas sikap politiknya dalam mengungkap persoalan pajak, pilihan paling elegan adalah menarik diri atau keluar dari koalisi. Sebab, pilihan keluar dari koalisi jauh lebih terhormat dan bermartabat ketimbang menerapkan politik dua kaki atau politik bermuka dua. Apalagi jika sikap politik itu hanya dijadikan sekadar untuk meningkatkan posisi tawar.
Kemungkinan Golkar dan PKS secara ksatria berinisiatif keluar dari kabinet sangat kecil. Sementara itu, mengharapkan Yudhoyono lebih bernyali untuk mengeluarkan Golkar dan PKS juga sulit. Terutama mendepak Golkar dari koalisi, hampir mustahil. Perombakan paling maksimal yang bisa ditempuh Yudhoyono adalah mengurangi jatah menteri PKS.
Prospek koalisi
Manuver Golkar dan PKS juga berkontribusi atas retaknya koalisi selama ini. Namun, sejatinya bukan hanya disebabkan oleh “kenakalan” Golkar dan PKS, tapi ketidaktegasan Yudhoyono, lemahnya komunikasi politik Demokrat, serta dampak inkompatibelitas presidensial-multipartai (presidensialisme setengah hati) juga berkontribusi.
Lalu bagaimana masa depan koalisi dalam situasi politik seperti ini? Paling tidak hampir dapat dipastikan, kita akan kembali melihat setidaknya empat hal yang telah terbukti terjadi di babak-babak politik sebelumnya–baik di masa Yudhoyono-Kalla maupun satu setengah tahun pemerintah Yudhoyono-Boediono–akan terjadi kembali di tiga setengah tahun sisa kekuasaan pemerintahan ini.
Pertama, tingginya kompromi politik (politik transaksional) dalam proses perombakan kabinet. Pola kompromi dan tawar-menawar politik akan tetap terjadi seandainya Yudhoyono merombak kabinet. Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah di DPR akan tetap tidak efektif. Walaupun secara kuantitas persentase tetap tambun, koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen amat rapuh dan mudah retak. Manuver politik dua kaki partai koalisi akan terus menghiasi perjalanan koalisi hingga berakhirnya pemerintahan. Walau demikian, partai-partai itu kecil kemungkinan dikeluarkan Yudhoyono dari koalisi.
Ketiga, hak angket dan ancaman penarikan dukungan akan selalu menjadi alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dengan presiden. Meskipun demikian, perbedaan politik antara pemerintah dan parlemen biasanya akan berakhir melalui proses tawar-menawar politik yang beraroma “politik transaksional”.
Keempat, Yudhoyono dan Boediono akan tetap dibayangi “ancaman impeachment”. Walaupun demikian, sesungguhnya ancaman-ancaman itu sulit terealisasi, bahkan mungkin tidak akan terjadi, jika pola hubungan transaksional dalam koalisi masih kuat. Namun, paling tidak, isu pemakzulan “dipolitisasi” sebagai ancaman terhadap Yudhoyono-Boediono untuk memperkuat posisi tawar partai di dalam koalisi pemerintah.
Dalam konteks keempat kecenderungan kompromi dan tawar-menawar politik itu, sekilas bisa diprediksi, kekuasaan kepresidenan Yudhoyono tetap aman–diamankan koalisi transaksional–tetapi koalisi akan tetap rapuh, sementara efektivitas dan kinerja pemerintah menjadi tumbalnya.
Karena model koalisi transaksional (Setgab Partai Koalisi) berkolaborasi dengan menguatnya manuver Golkar dan PKS, serta ketidaktegasan kepemimpinan Yudhoyono, hampir dapat dipastikan bahwa nasib koalisi tetap rapuh dan tanpa masa depan. Itu artinya, ada atau tidak reshuffle kabinet, ada atau tidak Setgab, tidak akan memperkuat stabilitas dan soliditas koalisi–jika tanpa penataan ulang sistem politik dan ketegasan kepemimpinan presiden. Inilah koalisi tanpa masa depan.
* Hanta Yuda A.R., analis politik dan kebijakan publik, penulis buku Presidensialisme Setengah Hati