Kisruh Partai Demokrat

Babak baru konflik Partai Demokrat dimulai setelah kubu Moeldoko melaporkan kepengurusan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk disahkan. Di sisi lain, kubu kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menganggap bahwa hasil kepengurusan KLB ilegal, dan  yakin Kemenkumham akan menolak berkas dari kubu KLB (detik.com, 17/3).

Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, (TII).

Ketika dilihat lebih dalam, konflik yang terjadi di tubuh Partai Demokrat sesungguhnya berakar dari permasalahan di internal partai. Shale dan Matlosa (2008) mengatakan konflik internal partai politik disebabkan, pertama, adanya favoritisme. Hal ini ditunjukkan lewat upaya mempromosikan sanak saudara dalam partai politik. Kedua, tidak adanya pembagian sumber daya yang setara. Ketiga, kurangnya pertemuan rutin. Keempat, otoritas terpusat sehingga membuat kekuasaan hanya terkonsentrasi di pimpinan pusat.

Merujuk pada pendapat Shale dan Matlosa di atas, akar dari konflik sebuah partai politik lebih banyak kepada persoalan internal partai politik. Jika dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi di Partai Demokrat, maka rendahnya demokrasi di internal partai menjadi pangkal konflik, menjadi relevan. Salah satu penyebabnya adalah adanya favoritisme.

Rendahnya demokratisasi di internal Partai Demokrat, dan favoritisme misalnya, ditandai dengan naiknya AHY sebagai Ketua Umum menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang notabene adalah ayahnya sendiri. SBY saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Walaupun dilakukan dengan mekanisme kongres, namun pihak-pihak yang berseberangan dengan kubu AHY menganggap bahwa terpilihnya AHY telah melanggar AD/ART partai.

Tudingan ini dilontarkan oleh mantan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Max Sopacua yang menyebut terpilihnya AHY sebagai Ketua Umum Demokrat melanggar AD/ART Partai Demokrat, karena untuk menjadi ketua umum Partai Demokrat minimal harus menjadi anggota selama lima tahun. Hal ini kemudian di respon oleh Wakil Sekretaris Jenderal Kubu AHY, yakni Jovan Latuconsina yang menyampaikan, bahwa dalam AD/ART Pasal 25 Ayat 1 yang mengatur tentang calon Ketua Umum dipilih melalui Kongres. Di dalam Pasal tersebut tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa syarat untuk dapat maju sebagai calon Ketua Umum adalah telah menjadi kader PD minimal selama 5 tahun (Sindonews.com, 11/2).

Selain itu, konflik internal partai politik juga turut disebabkan oleh faktor faksionalisasi. David Hine (dalam Romli, 2017) berpendapat bahwa faksi akan menjadi faktor konflik internal partai manakala ikatan antar faksi partai lebih dipengaruhi oleh kepentingan individu dan kelompok dibandingkan oleh adanya kesamaan gagasan. Faksi di dalam partai politik dapat mencerminkan berbagai kombinasi motif yang berbeda, seperti perbedaan ideologi atau isu, perbedaan sosial dan budaya, dan pertarungan kepemimpinan pribadi.

Jika merujuk berbagai pendapat di atas, dalam kasus Partai Demokrat, terjadi persaingan antara faksi kepengurusan partai di bawah kepemimpinan AHY dengan para ‘Kelompok Pendiri Partai Demokrat’ yang menyelenggarakan KLB. Persaingan inilah yang kemudian menciptakan konflik yang terjadi hari ini di tubuh Partai Demokrat. Persaingan ini biasanya tidak lepas dari upaya untuk memperebutkan sumber daya kekuasaan di internal partai.

Berdasarkan paparan di atas, kembali dapat dikatakan bahwa persoalan internal menjadi dasar dari konflik di Partai Demokrat. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan partai menjadi sangat penting untuk dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melalui perbaikan fungsi kepartaian, terutama dalam mekanisme rekrutmen untuk menduduki jabatan politik, termasuk yang ada di internal partai.

Sementara, sisi rekrutmen politik juga harus lebih mengedepankan sistem meritokrasi yang, berasaskan kesetaraan dan keterwakilan gender, ketimbang hanya memenuhi kepentingan kekerabatan maupun kelompok atau golongan, serta pertimbangan favoritisme yang kerap diterapkan selama ini untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis semata. Melalui proses rekrutmen politik yang terbuka, transparan, serta akuntabel, rekrutmen politik diharapkan dapat benar-benar berjalan secara demokratis dengan dukungan para kader yang berintegritas, berkomitmen, dan kompeten.

Selanjutnya dalam penyelesaian konflik di internal partai, penyelesaian konflik ini, misalnya saja, dapat dilakukan dengan mekanisme yang sesuai dengan AD/ART. Jika hal ini belum menemukan solusi maka, sejatinya para pendiri maupun tokoh Partai Demokrat mendorong dialog dan menghadirkan pihak ketiga sebagai mediator guna membangun solusi bersama. Tidak kalah penting, upaya penyelesaian konflik dilakukan dengan adil dan transparan hingga menemukan solusi akar dari konflik.

 

Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

 

Komentar