Kondisi masyarakat Indonesia saat ini dapat diibaratkan bukan tenggelam setengah badan, tetapi sudah tiga per empat badan. Masyarakat sudah megap-megap karena tekanan air laut dan hanya tersisa hidung dan mulut di atas permukaan.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap tidak mengakomodir kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah, di tengah kondisi mereka saat ini yang sedang ”kantong tipis”. Mereka menggunakan tabungan dan simpanan mereka—yang seharusnya dapat digunakan untuk kebutuhan lain seperti simpanan dana darurat, dana pendidikan, dan lain-lain—untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik pengeluaran BBM untuk transportasi, beras dan minyak, dan sebagainya. Sebelum membahas kebijakan yang membebani masyarakat tersebut, mari kita lihat beberapa data menarik terkait kelas menengah.
Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) (2023) menunjukkan bahwa porsi kelas menengah mendominasi populasi di Indonesia, yaitu kelas menengah bawah sebesar 69,05% dan kelas menengah atas 22,14%, diikuti kelas masyarakat miskin (7%), dan kelas masyarakat kaya (1,81%). Untuk memberikan perspektif yang lebih dalam, BPS dalam Purwanto (2024) menyatakan bahwa pengeluaran bulanan kelas menengah bawah adalah Rp1,5 juta-Rp2 juta dan kelas menengah atas adalah Rp3 juta-Rp5 juta.
Kedua adalah persentase rumah tangga (RT) kelas menengah ini berdasarkan indikator sosialnya, seperti yang menggunakan internet dan teknologi. BPS (2023) mencatat RT yang sudah menggunakan internet adalah 45,67% dari kelas menengah bawah dan 75,47% dari kelas menengah atas. Sementara itu, hanya sebanyak 4,67% kelas menengah bawah dan 25,61% kelas menengah atas yang sudah memanfaatkan teknologi. Persentase ini sangat jauh jika dibandingkan dengan RT kelas kaya yang 92,05% sudah menggunakan internet dan 58,5% yang tech-savvy.
Apa artinya? Informasi yang tersebar di media sosial ataupun di mesin pencari hanya dapat diakses oleh 46 orang dari 100 orang kelas menengah bawah. Bahkan hanya 5 orang dari 100 orang yang sudah menggunakan teknologi dari kalangan menengah bawah. Informasi tadi tidak hanya terkait berita, tetapi juga terkait ilmu pengetahuan dan pendidikan di tengah maraknya kursus daring gratis. Dengan kata lain, mayoritas masyarakat menengah bawah bahkan tidak tahu, tidak bisa mengetahui apa yang sedang terjadi, dan tidak punya alat untuk mengetahuinya. Boro-boro untuk mengetahui kebijakan yang sedang diimplementasikan pemerintah.
Lalu, apa saja kebijakan yang membuat masyarakat ngos-ngosan? Setidaknya ada dua kebijakan yang dianggap pemerintah memberikan dampak baik, tetapi justru membuat masyarakat menengah ‘pusing tujuh keliling’, yaitu kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak dan beras.
Kebijakan iuran Tapera menimbulkan kegaduhan di kalangan masyarakat menengah, bahkan pemberi kerja akibat nilai iuran yang ditetapkan sebesar 3% di mana 0,5%-nya ditanggung oleh perusahaan dan 2,5% ditanggung oleh pekerja dimulai pada tahun 2027. Jika menggunakan angka pengeluaran yang disebutkan sebelumnya, masyarakat menengah bawah akan membayar iuran minimal Rp37.500 dan maksimal Rp50.000. Dengan demikian, uang yang tersisa bagi mereka adalah Rp1.462.500-Rp1.950.000 per bulan.
Jika formula 40-30-20-10 dalam Wahyuningsih (2021) diaplikasikan, di mana 40% untuk kebutuhan, 30% untuk cicilan, 20% untuk ditabung dan 10% untuk bersedekah, maka perhitungan dengan sisa gaji Rp1.462.500 ini akan menjadi:
(a) Pengeluaran untuk kebutuhan, seperti kebutuhan pokok: Rp585.000. Angka akan menjadi Rp877.500 setelah dikurangi kebutuhan pokok.
(b) Pengeluaran untuk cicilan, seperti kendaraan: Rp263.250 (30% dari Rp877.500). Angka akan menjadi Rp614.250 setelah dikurangi cicilan.
(c) Pengeluaran untuk tabungan: Rp122.850 (20% dari Rp614.250). Angka akan menjadi Rp491.400 setelah dikurangi tabungan.
(d) Pengeluaran untuk sedekah: Rp49.140 (10% dari Rp491.400). Angka akan menjadi Rp442.260.
Nilai Rp442.260 ini adalah sisa gaji akhir per bulan yang dimiliki masyarakat kelas menengah bawah yang dapat digunakan untuk dana darurat ataupun diinvestasikan. Nilai ini adalah nilai moderat dan bahkan akan semakin berkurang di tengah inflasi akibat naiknya harga kebutuhan dasar dan bahan bakar minyak (BBM), belum lagi ketika PPN 12% akan diterapkan nanti, serta belum mampunya kelas masyarakat ini dalam manajemen keuangan.
Selain itu, perlu juga disadari bahwa masyarakat memiliki upah minimum yang berbeda di antardaerah dan tidak semua elemen masyarakat juga melihat rumah sebagai kebutuhan primer.
Berkurangnya sisa gaji masyarakat menengah yang notabene mendominasi populasi Indonesia akan berdampak pada berkurangnya permintaan barang dan jasa, sehingga bermuara pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Jika hal itu terjadi, maka masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan untuk beraktivitas dalam perekonomian yang nantinya akan memengaruhi kebebasan individu dan ekonomi di Indonesia yang sudah dalam tren penurunan.
Kebijakan yang membuat masyarakat megap-megap kedua adalah kenaikan HET untuk minyak dan beras. Secara teori, HET atau “price ceiling” ini bertujuan untuk membantu konsumen mendapatkan harga yang terjangkau untuk barang dan jasa dalam hal ini adalah beras dan minyak. Sayangnya, realita tidak semanis harapan. Kebijakan HET belum sama sekali membantu konsumen dan malah menciptakan distorsi pada pasar, seperti pengurangan kualitas beras yang dijual kepada masyarakat ataupun menciptakan kondisi pasar di mana penjual akan menaikkan harga di atas HET dan menuju harga keseimbangan. Ini menandakan kebijakan HET tidak tepat sasaran dan berujung kontraproduktif.
Hal ini juga akan semakin menekan biaya hidup masyarakat kelas menengah yang memang sudah tertekan saat ini. Kenaikan HET ini juga dapat dikatakan tanda ketidakmampuan pemerintah untuk menyeimbangkan “demand” dan “supply” untuk beras dan minyak di Indonesia.
Di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi saat ini, pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan berbagai hal dan sudut pandang, terutama dari kalangan masyarakat menengah dan bawah, terkait dengan kebijakan yang disusun maupun yang akan diimplementasi. Walapun pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya akan melanjutkan kebijakan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo, Prabowo-Gibran juga harus dapat memperbarui kebijakan yang kurang dan meningkatkan partisipasi bermakna dari masyarakat agar kebijakan kedepan dapat menciptakan stabilitas di masyarakat.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
putu@theindonesianinstitute.com