Kesehatan Jiwa dan Resiliensi Sosial di Tengah Pandemi

Ketika terbangun setiap pagi dalam kurun waktu enam bulan ini, saya kadangkala masih menerka-nerka kembali seandainya pandemi ini tak ada atau benar-benar berakhir. Semua orang akan merayakan rasanya menjadi aman, sekolah kembali buka, tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan kembali ramai, gedung-gedung perkantoran beroperasi penuh tanpa rasa takut. Namun, hal-hal yang dianggap normal tersebut nyatanya masih dalam bayang-bayang. Yang ada, setiap dari kita memang dihadapkan apa yang disebut dengan realitas “normal yang baru” dengan bumbu-bumbu perasaan was-was ketika beraktivitas.

Waktu berjalan, masyarakat perlahan-lahan mungkin maklum dengan krisis yang terjadi. Beradaptasi adalah pilihan yang tak bisa dielakkan sebab mobilitas dan roda ekonomi tak seluruhnya dapat dipenuhi dari dinding-dinding rumah. Sayangnya, sekalipun kita menganggap kembali ke bilik-bilik ruang perkantoran maupun gedung-gedung operasi adalah wujud dari upaya “pemulihan”, tetapi apa yang tertinggal di rumah adalah realitas yang tak bisa dipungkiri. Kita semua harus berhadapan dengan sisi lain dari dampak pandemi terhadap dinamika kehidupan individu dan rumah tangga.

Tepat pada Bulan September ini, momentum untuk mendengungkan kesadaran akan pencegahan bunuh diri dilakukan. Terkhusus pada tulisan ini, saya ingin mengajak merefleksikan kembali tentang salah satu persoalan genting pada masa pandemi, yakni masalah kesehatan jiwa. Berdasarkan data Swaperiksa yang dihimpun Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari April sampai Agustus 2020 lalu, sebanyak 3.443 orang yang melakukan swaperiksa, mengeluhkan masalah psikologis. Di antaranya, 16 persen menyampaikan permasalahan trauma psikologis, diikuti 47,9 persen memperlihatkan gejala kecemasan dan 36.1 persen menunjukkan gejala depresi. Dari seluruh data responden dari 34 provinsi tersebut, 85 persen di antaranya ialah perempuan.

Pada sisi yang sama, Tim Sinergi Mahadata Tanggap COVID-19 UI menyatakan bahwa permasalahan kesehatan jiwa memang sangat genting. Pernyataan tersebut dilandasi argumen mengenai proporsi orang dengan gejala depresi yang telah menyentuh angka lebih dari 35 persen pada masa pandemi. Mereka menegaskan angka di atas ternyata lebih tinggi 5-6 kali jika dibandingkan dengan angka kejadian depresi di masyarakat secara umum jika dilihat dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, serta lebih besar 2-3 kali jika dibandingkan dengan angka kejadian depresi pada kejadian bencana non-pandemi lain.

Persoalan di atas semakin kompleks seiring situasi pandemi yang tak berkesudahan di samping tingkat adaptasi masyarakat terhadap krisis yang beragam. Tak bisa diabaikan pula bahwa pandemi juga mempertontonkan potret isolasi sosial, kecemasan terhadap kondisi finansial maupun ketakutan terhadap risiko penularan COVID-19 yang akhirnya mengakibatkan banyak orang mengalami gejala-gejala depresi dan kecemasan yang tinggi. Bahkan, pada laporan swaperiksa PDSKJI per Mei 2020, dari keseluruhan responden yang menunjukkan gejala depresi, 49 persen di antaranya berpikir tentang kematian/melukai diri sendiri.

Sekalipun stress merupakan perihal normal dalam situasi krisis, tetapi akan menjadi persoalan ketika dihadapkan dengan beberapa konteks. Pada sebagian besar orang, seperti petugas kesehatan, individu dengan gangguan kejiwaan maupun kelompok masyarakat dengan status sosio-ekonomi rendah akan lebih rentan terhadap risiko stress yang berimplikasi negatif.

Begitupun jika mempertimbangkan norma-norma gender yang masih mengakar di masyarakat. Situasi pembatasan sosial tentunya banyak membuat perempuan banyak memikul beban ganda berupa pekerjaan perawatan dan beraktivitas secara ekonomi. Pada akhirnya, seperti yang dilansir dari laporan Dinamika Perubahan Rumah Tangga Selama Masa COVID-19 oleh Komnas Perempuan (2020), banyak perempuan mengalami kekerasan psikologis dan ekonomi dibandingkan bentuk kekerasan lainnya.

Dengan menggunakan perspektif kesejahteraan sosial, situasi di atas menggambarkan permasalahan multi-level. Baik di tingkat terkecil pada cakupan individu dan keluarga, masalah di tingkat komunitas maupun dimensi lebih besar pada aspek kebijakan. Pandemi menguji bagaimana tiga level tersebut saling berkelindan untuk meningkatkan resiliensi sosial. Namun, untuk merealisasikan hal tersebut, ekosistem penanganan tersebut pun harus menitikberatkan upaya-upaya yang mendorong tiga level tersebut agar saling menopang satu sama lain.

 

Ekosistem Penanganan yang Mendorong Resiliensi

Persoalan kesehatan jiwa pada masa krisis merupakan salah satu tantangan resiliensi sosial. Pada masa pandemi saat ini, isu kesehatan jiwa tentunya akan berdampak lebih keras terhadap sebagian orang ketimbang lainnya. Faktor-faktor yang memengaruhi seperti tingkat kualitas hidup, kemiskinan, akses terhadap layanan kesehatan, ketidakpastian ekonomi, dukungan sosial, juga tingkat melek aksara dan teknologi (Southwick & Charney, 2012). Pada akhirnya, isu ini bukan hanya isu individu tetapi juga mencakup populasi masyarakat yang lebih luas.

Resiliensi di sini tidak lain adalah kemampuan untuk menangani tekanan dan membendung implikasi-implikasi negatif dari situasi krisis. Pada tingkat masyarakat, resiliensi sosial dibutuhkan untuk menangani berbagai tekanan akibat pandemi (Vinkers dkk, 2020). Hal ini membutuhkan ekosistem penanganan secara serius dengan memperhatikan data akurat mengenai dampak-dampak pandemi terhadap persoalan kesehatan jiwa dan implikasi-implikasi lainnya, seperti tingkat bunuh diri, kekerasan dan penelantaran.

Pada jangka pendek dan menengah, resiliensi dibangun dengan adanya respons penanganan dari negara dan aktor-aktor terkait lainnya, baik organisasi kemasyarakatan maupun sektor swasta. Pada konteks kesehatan jiwa, optimalisasi layanan krisis (crisis center) maupun layanan berbasis masyarakat (community care) dibutuhkan untuk memberikan fasilitasi dukungan kesehatan jiwa dan psikososial bagi masyarakat, terutama kelompok rentan. Optimalisasi ini dapat dimulai dengan memperbaiki kualitas layanan Sejiwa maupun Swaperiksa. Tantangan pada aspek ini ialah memperluas jangkauan layanan kesehatan jiwa dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan akses teknologi, jenis layanan dan basis pendekatan yang ramah terhadap berbagai lapisan kelompok masyarakat.

Selain itu, tantangan pada fase ini juga melingkupi pentingnya memperkuat relasi interpersonal pada tingkat keluarga. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dinamika perubahan pada tingkat rumah tangga selama COVID-19 berimplikasi negatif terhadap adanya risiko kekerasan dan penelantaran. Penanganan pada isu ini adalah memperkuat program pemerintah atau lembaga yang memiliki fokus terhadap penguatan relasi interpersonal dalam keluarga, di samping pula penguatan tingkat penanganan pada lembaga pengada layanan terhadap korban kekerasan untuk memulihkan secara psikososial.

Terakhir, tak bisa ditampik bahwa kelompok masyarakat yang rentan secara sosio-ekonomi akan berhadapan dengan risiko tekanan psikologis yang cukup besar. Melihat hal ini, adanya manfaat perlindungan sosial dalam bentuk bantuan sosial dan asuransi sosial dibutuhkan, terutama melalui perbaikan akurasi bantuan sosial, perluasan akses terhadap kesempatan ekonomi dan layanan kesehatan, serta memangkas hambatan yang terjadi ketika mengakses pendidikan jarak jauh (online education) bagi anak sekolah dan informasi layanan sosial berbasis daring. Intervensi ini juga harus berkesinambungan dengan prinsip mendorong keberdayaan dan pemulihan untuk menjadi masyarakat yang resiliens pada jangka panjang.

 

Nopitri Wahyuni
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

Komentar