Meningkatnya harga minyak mentah dunia pada Januari 2013 yang mencapai US$ 111,07 per barel, naik 3,9 persen dari harga akhir tahun lalu sebesar US$ 106,90 per barel, membuat pemerintah berencana menaikkan harga BBM. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelaskan, ada beberapa alasan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Pertama, karena akan memberatkan fiskal dan APBN. Kedua, selama ini subsidi BBM dinilai tidak tepat sasaran, karena yang menikmati adalah golongan yang mampu dan kaya.
Subsidi khusus untuk BBM saat ini sebesar Rp 193,8 triliun. Jika BBM tidak dikendalikan, maka anggaran untuk subsidi BBM akan membengkak sebesar Rp 297,7 triliun dengan asumsi harga keekonomian BBM saat ini Rp 10.000 per liter. Meningkatnya subsidi BBM akan berdampak pada defisit anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 353 ,6 triliun (3,83 persen dari PDB).
Keputusan kenaikan BBM sampai saat ini belum diumumkan oleh pemerintah. Walaupun wacana kenaikan BBM yang berulang kali disampaikan oleh pemerintah. Pernyataan pemerintah di media massa tentang rencana kenaikan BBM telah memicu kenaikan harga kebutuhan pokok yang meresahkan masyarakat.
Di beberapa kota seperti Tegal, Yogyakarta, dan Solo harga telur, gula, bawang putih, dan mie instant merangkak naik. Kenaikan tersebut disebabkan karena para pedagang memprediksi kenaikan harga BBM akan mengganggu distribusi sembako.
Jika ditinjau dari kacamata komunikasi politik, hal ini mencerminkan lemahnya manajemen komunikasi politik pemerintah dan partai pendukungnya mengenai permasalahan kenaikan BBM. Pola komunikasi yang dilakukan masih terkesan interaksi terbatas di antara sesama elit. Pemerintah dinilai kurang menyampaikan pesan dan penjelasan secara utuh tentang rencana kenaikan BBM.
Alasan yang sering dikemukakan pemerintah adalah kenaikan harga minyak mentah dunia dan persoalan subsidi yang akan membengkakkan APBN. Di sisi lain, pemerintah belum melakukan transparansi aset dan pengelolaan migas, yang akhirnya membuat kecurigaan. Ditambah lagi rencana kenaikan BBM dari dua harga dan kembali ke satu harga yang menyebabkan kebingungan di masyarakat.
Diperlukan perubahan pola manajemen komunikasi politik yang bottom up dan bersifat aspiratif, dimana melalui pendekatan ini para elit di eksekutif dan legislatif dapat mentransaksikan pesan-pesan politik berdasarkan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan elit. Untuk itu perlu dilakukan beberapa langkah.
Pertama, seharusnya pemerintah dengan gamblang menjelaskan pengelolaan energi kita saat ini, karena secara konstitusi, Pasal 33 UUD 1945, yang memiliki aset energi adalah masyarakat. Sudah selayaknya masyarakat mengetahui pengelolaan asetnya.
Kedua, pemerintah seharusnya membuka ruang publik yang lebih luas dan terbuka, melalui ruang-ruang sosialisasi kebijakan yang mengikutsertakan komponen masyarakat sipil. Dengan begitu, terjadi transaksi pesan-pesan politik berdasarkan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan elit.
Kebijakan naik atau tidaknya harga BBM ini harus segera diputuskan. Karena jika tidak, persoalan ini akan menyebabkan semakin tingginya harga sembako dan kelangkaan BBM di sejumlah tempat dan pada akhirnya berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah
Arfianto Purbolaksono – Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesia Institute
anto_shevchenko@yahoo.com