Kegagalan MBS dan Kampanye Menyesatkan Menyesatkan BOS

Viza JuliansyahSejak diatur dalam Undang undang No 20 Tahun 2003 sepuluh tahun lalu, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) hampir sama sekali tidak terdengar kabarnya. Ini kontras dengan kebijakan bidang pendidikan lainnya yang berumur kurang lebih sama, Bantuan Operasi Sekolah (BOS).

Sejatinya semua sekolah di Indonesia diharapkan telah menerapkan MBS dalam sistem pengelolaannya. Namun, pada kenyataannya sangat jarang sekolah yang telah mencoba melakukannya. Lebih jarang lagi yang bisa digolongkan berhasil, terutama yang di daerah.

Sebagai gambaran, dari 354 sekolah yang ada di Kabupaten Melawi, baru 20 sekolah yang mencoba menerapkan pola ini. Hal ini pun baru dilakukan setelah mereka mendapatkan pendampingan dari sebuah LSM. Dari 20 sekolah tersebut, hanya sekitar 8 yang bisa dikatakan berhasil dan mendapatkan manfaatnya (UNfGI, 2013).

MBS merupakan kebijakan yang bersemangatkan desentralisasi. Melalui program ini, diharapkan sekolah bisa menjadi institusi yang mandiri dengan memanfaatkan semua sumber daya yang mereka miliki. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak sangatlah dibutuhkan dalam mensukseskan program ini, termasuk orang tua murid.

Orang tua murid yang diwakili dalam bentuk komite sekolah diharapkan secara aktif turut menjadi bagian dari dinamika sekolah, termasuk dalam proses pengambilan keputusan mengenai berbagai hal. Bentuk partisipasi mereka bisa dalam bentuk musyawarah untuk menyelesaikan permasalahan, mengumpulkan dana dan mengawasi penggunaannya atau bahkan kerja gotong royong untuk membuat infrastruktur sekolah.

Dengan demikian, diharapkan semua kebutuhan sekolah dapat terpenuhi tanpa harus selalu mengharapkan bantuan dari pemerintah. Namun, sepertinya kondisi ideal ini masih jauh dari kenyataan. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui mengenai MBS. Jika pun mengetahui, sebagian besar menolak untuk aktif didalamnya.

Kurang seriusnya usaha pemerintah untuk mensukseskan program ini menjadi salah satu penyebab gagalnya MBS. Tidak banyak sosialisasi yang dilakukan pemerintah sehubungan dengan ini. Bahkan banyak staf di sekolah yang tidak tahu pasti bagaimana sebenarnya penerapan MBS yang benar.

Departemen pendidikan memang melakukan beberapa hal sehubungan dengan ini, namun terlihat jelas, ini masih jauh dari cukup. Misalnya, dalam mensosialisasikan program ini, tidak semua kepala sekolah diundang untuk mengikuti pelatihan. Ini membuat tidak informasi tidak merata, bahkan muncul kecemburuan antar sekolah setelah melihat manfaat yang diterima sekolah yang mampu melaksanakan praktik MBS.

Penyebab kegagalan kedua berhubungan dengan kebijakan BOS yang sekilas terlihat bertentangan dengan MBS. Sementara BOS merupakan kebijakan pemerintah dengan “menyuapi” sekolah, MBS memaksa sekolah “mencari makan” sendiri. Secara politik, dari sudut pandang pemerintah, tentu BOS lebih menguntungkan meskipun memerlukan dana besar.

Pemerintah melakukan sosialisasi besar-besaran akan hal ini hampir di semua media. Tiap melakukan kunjungan, para pejabat “menyesatkan” masyarakat dengan mengatakan pendidikan hingga SMP telah digratiskan. Tidak banyak dijelaskan bahwa BOS hanya ditujukan untuk keperluan tertentu saja. Semua ini pada gilirannya menyebabkan kesalahan persepsi di kalangan masyarakat akan pendidikan gratis.

Kesalahan persepsi inilah yang kemudian menyebabkan banyak orang tua keberatan saat diajak berpartisipasi di sekolah anak-anak mereka, utamanya bila berhubungan dengan pengumpulan dana. Pada akhirnya kurangnya informasi soal MBS; kesalahan pemahaman soal pendidikan gratis; serta tidak terlatihnya pihak sekolah, secara akumulatif membuat program MBS gagal diterapkan.

Untuk bisa mensukseskan program ini, pemerintah harus secara serius melakukan langkah-langkah agar masyarakat menyadari bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama serta mau berkontibusi aktif didalamnya. Para pejabat mestinya juga tidak membuat impresi yang salah pada masyarakat hanya demi kepentingan pencitraan dengan mengorbankan sekolah sebagai pelaksana.

Pemerintah harus mampu menyeimbangkan semua kebijakan yang mereka keluarkan. Jika tidak, alih-alih saling melengkapi, kebijakan tersebut bisa saling melemahkan. Jika pemerintah berharap pendidikan nasional berhasil menciptakan generasi-generasi cerdas dan amanah, ini paling tidak harus dimulai dengan menghentikan kebiasaan mereka membohongi rakyatnya.

Viza Juliansyah – Research Associate The Indonesian Institute. visajulian@gmail.com

Komentar