Kasus Meme Setya Novanto dan Ancaman Kebebasan Berekspresi

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto, melalui kuasa hukumnya pada 10 Oktober 2017 yang lalu melaporkan sejumlah akun media sosial ke kepolisian. Berselang waktu kemudian, polisi menangkap salah satu pemilik akun yaitu Dyann Kemala Arrizqi. Dyann melalui akun media sosialnya mengunggah meme tentang Setya Novanto. Selain Dyann, polisi masih memburu para penyebar meme lainnya. Jumlah akun yang dilaporkan Setnov mencapai puluhan. Ada 31 akun yang terdiri dari 15 akun Twitter, 9 akun Instagram, dan 8 akun Facebook. Mereka semua dilaporkan karena diduga membuat dan menyebarkan meme sindiran terhadap Setya Novanto menggunakan akunnya masing-masing (kompas.com, 1/11/17).

Penangkapan terhadap Dyann ini, kemudian mengundang kritik dari sejumlah pegiat jaringan kebebasan berekspresi. Koordinator SAFEnet, Damar Juniarto, mengatakan polisi sebaiknya tak terlalu terburu-buru memproses pidana penyebar meme satire Setya Novanto. SAFEnet berharap polisi menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dengan mendorong mediasi para pihak untuk mengklarifikasi sebagai upaya penyelesaian. Mengingat kasus pemidanaan atas defamasi (pencemaran nama baik) seharusnya adalah upaya hukum terakhir (ultimum remedium) (cnnindonesia.com, 3/11/17).

Selanjutnya, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Nawawi Bahrudin, mengatakan meme adalah kritik sosial dalam negara demokrasi yang mestinya dilindungi, bukan dibungkam. Sebagai pejabat publik, Novanto diminta untuk lebih legowo menerima kritik. Selain itu Nawawi juga berharap Polisi menempuh upaya persuasif terlebih dahulu, ketimbang memproses laporan soal gambar sindiran itu (cnnindonesia.com, 5/11/17).

Melihat persoalan di atas, penulis menilai bahwa pembuatan dan penyebaran meme merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi. Hal ini merujuk pada definisi dalam Toolkit Kebebasan Berekspresi yang di rilis oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Pengertian kebebasan berekspresi yaitu mencakup ekspresi yang lebih luas, termasuk kebebasan berekspresi melalui cara lisan, tercetak maupun materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik (UNESCO, 2013).

Kebebasan ekspresi itu sendiri juga merupakan salah satu hak asasi manusia. Pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hak ini mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara. Di negara demokrasi seperti Indonesia, mengutip pendapat John Stuart Mill bahwa kebebasan berekspresi dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran (Elsam dan TIFA, 2013).

Di samping itu, kebebasan berekspresi di Indonesia juga telah dijamin dalam Konstitusi yakni Pasal 28 UUD 1945 dan juga hukum nasional. Indonesia sendiri telah meratifikasi Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun Tentang Pengesahan International Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai kebebasan bereskpresi sebagai salah satu hak yang perlu dijamin dan dilindungi. Ketentuan-ketentuan ini semakin menguatkan jaminan perlindungan terhadap hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan kasus di atas, Penulis berpendapat bahwa pembuatan dan penyebaran meme merupakan bentuk dari kebebasan ekspresi yang seharusnya di lindungi bukan untuk dibungkam. Meme harus dilihat sebagai kritik masyarakat terhadap persoalan di negeri ini. Kemudian yang terakhir, Polisi sebagai aparatur penegak hukum seharusnya dapat lebih dahulu melakukan upaya mediasi antara pemilik sejumlah akun dan juga pihak Setya Novanto. Karena jika lebih mendahulukan proses hukum, hal ini jelas akan menjadi ancaman terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.

 

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar