Jakarta – Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Riski Wicaksono, menilai program Kredit Pendidikan perguruan tinggi oleh Presiden Joko Widodo tidak efisien. Menurut Riski, pendanaan melalui skema kredit yang dilakukan secara masif sangat berisiko tinggi akan terjadinya kredit bermasalah (Non Performing Loan). Terlebih lagi program kredit pendidikan tersebut dikemas dalam bentuk Kredit Tanpa Agunan (KTA).
“Perluasan kredit perbankan yang digulirkan tahun ini masih sangat riskan terhadap kestabilan kinerja perbankan,” kata Riski melalui keterangan tertulisnya yang diterima Tempo pada Selasa, 10 April 2018. Riski mengatakan, saat ini posisi rasio kredit bermasalah perbankan atau Non Performing Loan (NPL) terpantau mengalami peningkatan 2,88 persen di akhir februari 2018.
Ditambah lagi, nilai kurs rupiah juga masih tertekan terhadap dollar amerika, yang terhitung sejak 1 Maret 2018 – 9 April 2018 masih melemah pada kisaran angka Rp 13.730- Rp 13.780.
Terlebih, kondisi perekonomian dalam negeri juga masih terganggu akan isu geo-politik di timur tengah dan kebijakan proteksionisme perdagangan di beberapa negara. Berdasarkan kondisi tersebut, penyaluran kredit dengan jumlah besar dikawatirkan akan berdampak secara sistemik terhadap kinerja perbankan.
Presiden Jokowi sebelumnya memberikan pekerjaan rumah kepada pelaku perbankan, dalam pertemuannya dengan pimpinan bank umum Indonesia. Ia meminta kepada para pelaku perbankan untuk mengeluarkan produk finansial baru berupa kredit pendidikan atau student loan.
Jokowi mengaku heran perbankan Indonesia tak memiliki produk kredit pendidikan. Padahal, kata dia, nilai nominal outstanding atau realisasi pembiayaan kredit pendidikan di Amerika Serikat telah melampaui total outstanding pinjaman kartu kredit.
Riski juga menilai bahwa program kredit pendidikan ini terkesan sebagai langkah peningkatan keterserapan kredit perbankan saja. “Faktor lain seperti bagaimana mengukur tingkat kemampuan membayar cicilan bagi mahasiswa setelah lulus nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan,” kata Riski.
Riski kemudian mengacu pada data analisis Kemenristekdikti terkait tingkat keterserapan kerja bagi lulusan perguruan tinggi. Pada 2017, rasio keterserapan kerja bagi lulusan perguruan tinggi masih rendah yaitu sebesar 17,5 persen. Angka tersebut, kata Riski, jauh lebih kecil jika dibandingkan keterserapan kerja bagi lulusan SMA/SMK yang mencapai 82 persen. Di sisi lain data Badan Pusat Statistik menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk jenjang pendidikan diploma secara years on years (yoy) per Agustus 2017 meningkat 6,88 persen. Hal yang sama terjadi pada lulusan jenjang sarjana dengan jumlah pengangguran meningkat sebesar 5,18, dibanding posisi sebelumnya per Agustus 2016.
“Berkaca dari kondisi yang saat ini terjadi masih sangat diragukan program kredit pendidikan ini mampu berjalan secara efektif,” ucap Riski. Ia menilai, pemerintah juga harus melaksanakan upaya mitigasi serta kajian lebih jauh agar program Kredit Pendidikan ini tidak menjadi bom waktu.
Sumber: Teras.id