Tahun 2008 menandai maturitas demokratisasi di Indonesia. Gelombang pertama pemilihan kepala daerah secara langsung telah selesai. Seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia (kecuali Jawa Timur) telah melaksanakan pemilihan langsung. Praktek pemilihan langsung di tingkat daerah ini memiliki implikasi besar dalam jangka menengah dan panjang. Janji dan kontrak politik sangat mudah dipantau dan dievaluasi oleh publik. Jarak antara penguasa dan rakyat jauh lebih dekat. Ini merupakan pengalaman berdemokrasi yang luar biasa.
Dengan selesainya gelombang pertama pemilihan kepala daerah, publik pemilih Indonesia memasuki tahun 2009 dengan pengalaman yang sangat berbeda. Publik pemilih berpengalaman menghadapi pilkada yang dipenuhi dengan agenda berorientasi praktis dan lokal. Meskipun faktor ideologis dan politis masih tetap hidup, tetapi faktor kebijakan/policy sudah mulai memasuki ranah pemilu.
Janji-janji praktis seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan murah (bahkan gratis), perbaikan infrastruktur, lapangan kerja dan lain-lain menandakan unsur policy sudah memasuki ranah pemilu. Pemilu tidak semata-mata mengenai politik ideologi, money-politics, atau fanatisme kultural, tetapi pemilu sudah mulai dijadikan arena untuk menggolkan gagasan-gagasan tentang policy.
Partai politik, politisi, dan calon presiden berhadapan dengan publik pemilih yang mulai berubah. Perubahan yang terjadi tentu masih parsial, tetapi ini sudah cukup untuk membuat partai politik dan politisi terasangsang untuk merubah pendekatannya. Publik pemilih yang baru saja melewati pilkada dengan agenda praktis, dengan mudah menuntut partai politik dan politisi nasional untuk memperhatikan agenda praktis dan juga grass-root oriented. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan kualitas pemilu 2009.
Tantangan tetap besar, tetapi tanda-tanda kemajuan demokrasi sudah mulai terasa. Dalam konteks itulah, penerbitan “Indonesia 2008” ini banyak memberikan perhatian pada masalah politik. Komponen politik seperti sistem multi-partai, institusionalisasi partai politik, perkembangan politik Islam, dan isu perempuan dalam politik menjadi kajian yang diperbincangkan disini.
Bersamaan dengan dinamika politik domestik yang cukup tinggi ini, kontraksi ekonomi dunia terjadi. Setelah krisis menghempaskan berbagai pelaku ekonomi raksasa di Amerika Serikat, Indonesia mulai merasakan efeknya. Dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lain, Indonesia mengalami efek yang relatif lebih kecil. Meski begitu, tantangan untuk bisa melewati krisis global ini tetap besar. Dari sinilah maka kajian tentang kondisi dan prospek sektor finansial dan makro ekonomi Indonesia menjadi salah satu bagian dari “Indonesia 2008” ini.
Di sektor sosial, Indonesia 2008 mengkaji masalah pendidikan dan cash-transfer yang dijalankan oleh Pemerintah. Program bidang sosial ini memiliki eksposure yang sangat tinggi di masyarakat. Secara politispun, program-program di bidang pendidikan dan penguatan sosial ekonomi masyarakat memiliki nilai elektoral yang sangat besar. Persepsi publik terhadap kinerja pemerintahan banyak dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan program-program pemerintah yang bernuansa dukungan sosial.
Semoga Indonesia 2008 bisa menjadi landasan untuk mereview perkembangan sosial, ekonomi dan politik Indonesia. Laporan ini juga diharapkan bisa menjadi salah satu landasan dalam memproyeksikan tren utama di tahun 2009. Selamat membaca.
Anies Baswedan
Direktur Eksekutif & Riset
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research