Diluar dugaan, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan BI-7 days reverse repo rate (BI-7DRRR) sebesar 25 basis pon (bps) menjadi 5,5%. Keputusan bank sentral itu diambil dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang digelar Kamis (22/8) kemarin (Bank Indonesia, 2019). Jika dihitung, pemangkasan bunga acuan tersebut adalah yang kedua kalinya dalam sebulan terakhir. Sebelumnya, BI juga menurunkan bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,75% pada tanggal 18 Juli lalu. Jika diakumulasi, BI sudah memangkas 50 bps bunga acuannya sejak memasuki semester kedua tahun 2019 ini.
Sebelumnya, banyak ekonom memberi aba-aba kepada BI untuk tetap menahan bunga acuannya lantaran masih bergejolaknya ekonomi global. Selain itu, dari sisi eksternal, Indonesia juga masih dihantui oleh melonjaknya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal kedua (3% dari Produk Domestik Bruto/PDB). Dengan tetap menahan bunga acuannya, pasar keuangan domestik akan memiliki daya saing di saat negara-negara emerging market sudah menurunkan suku bunga acuannya. Alhasil, arus modal asing akan masuk ke dalam negeri guna mengobati pendarahan pada CAD Indonesia.
Lagipula, indikator makro ekonomi seperti inflasi bulanan pada bulan Juli 2019, misalnya, tercatat 0,31%, menurun dibanding bulan sebelumnya sebesar 0,55%. Secara tahunan, inflasi sampai bulan Juli 2019 tercatat 3,32% yang masih berada pada titik tengah rentang sasaran dalam negeri pun mendukung tesis para ekonom untuk meminta BI tetap menahan suku bunganya (Investor Dialy, 2019).
Sayangnya, fakta-fakta di atas tidak membuat BI gentar dalam menahan bunga acuannya. Dengan dalih mengambil langkah pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi ke depan, BI resmi mengambil langkah untuk memangkas bunga acuannya.
Hikmah Penurunan Bunga Acuan
Kendati langkah BI ini diluar prediksi, namun sebagai pelaku ekonomi kita harus mampu mengambil hikmah dari setiap kebijakan yang dikeluarkan. Setidaknya secara konseptual, skenario penurunan suku bunga acuan ini dimaksudkan untuk menggairahkan investasi dan iklim usaha dalam negeri. Berikutnya, dengan pelonggaran likuiditas diharapkan juga dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga nasional yang selama ini menjadi penyumbang lebih dari 55 persen pertumbuhan ekonomi atau PDB nasional. Penurunan suku bunga ini juga akan menstimulus pemilik dana berlebih untuk berinvestasi di sektor riil dibandingkan menyimpan dananya di bank. Dengan demikian, ada pergeseran perilaku dari passive saver menjadi active investor.
Dengan laju inflasi yang tetap terjaga rendah, maka daya beli masyarakat akan meningkat, pelonggaran suku bunga diharapkan dapat menurunkan suku bunga kredit, sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Hal ini juga dilatarbelakangi dengan fakta bahwa selama tahun 2019 ini pertumbuhan kredit perbankan hanya berada pada level 8-11% (year on year/yoy).
Dengan kompensasi bunga kredit yang murah diharapkan angka ini akan terus meningkat di masa mendatang. BI sendiri memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan dalam kisaran 10-12% (yoy) pada tahun 2019 dan 11-13% (yoy) pada tahun 2020, sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) diperkirakan dalam kisaran 7-9% (yoy) pada 2019 dan 8-10% (yoy) pada 2020.
Setali tiga uang dengan meningkatnya keyakinan pelaku usaha setelah pemilu berjalan damai, investasi diyakini bakal meningkat pada semester kedua tahun ini. Hal itu ditopang pula dengan proyek-proyek infrastruktur yang tetap berlanjut. Hal itu terbukti dengan masih tingginya kredit yang belum dicairkan (undisbursed loan) lebih dari Rp1.500 triliun.
Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktivitas konsumsi dan investasi, sehingga dapat mendorong aktivitas perekonomian. Dengan skenario ini pula, kita dapat meningkatkan daya saing dunia usaha nasional. Sebab, pengusaha di negara-negara tetangga sebagai kompetitor menikmati tingkat suku bunga kredit lebih rendah, sehingga harga produknya lebih kompetitif.
Terkait dengan masalah defisit CAD Indonesia, sebetulnya pendarahan tersebut dapat diatasi dengan investasi asing, khususnya dari Foreign Direct Investment (FDI). Dalam hal ini, FDI harus diarahkan untuk berorientasi ekspor dan mendongkrak produktivitas dalam negeri.
Sebagai penutup, BI perlu dapat mematok suku bunga acuan yang mampu menjaga stabilitas rupiah dan inflasi, mempertahankan daya tarik aset-aset keuangan di mata investor asing, sekaligus mampu menjadi stimulus perekonomian. Dengan demikian, misi BI yang pro-stabilitas dan pro-pertumbuhan dapat dicapai tanpa menimbulkan dilema.
Muhamad Rifki Fadilah,
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute,