Hari Kartini dan COVID-19: Momentum Refleksi dan Mendesak Agenda Pemberdayaan Perempuan Indonesia

Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, dan di tengah pandemic COVID-19, seharusnya menjadi momentum untuk refleksi dan upaya untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan Indonesia, serta mendesak agenda pemberdayaan perempuan Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Dalam disertasinya yang juga menganalisis tentang topik pemberdayaan perempuan (Muchtar, 2017), Adinda memperkenalkan konsep pemberdayaan, yang mencakup beberapa komponen, yaitu: kapasitas; kapabilitas; kepercayaan diri; pilihan; komitmen; kesadaran; keberhasilan; serta penerimaan dan pengakuan dari berbagai pihak. Kerangka pemberdayaan ini akan tergantung pada konteks di mana perempuan tinggal dan pengalaman uniknya dalam berhubungan dengan pihak lain dan terlibat di berbagai kegiatan.

Adinda menambahkan bahwa pemahaman mengenai makna pemberdayaan dan pengalaman unik perempuan dalam hubungan relasionalnya di ranah publik maupun privat, serta eksistensi dan aktualisasi diri perempuan baik, secara individu maupun kolektif, harus menjadi landasan untuk menjadikan agenda pemberdayaan perempuan di Indonesia sebagai upaya dan komitmen bersama untuk mendorong transformasi sosial. Upaya ini tidak berhenti pada upaya mendorong representasi perempuan di ranah politik dan pembuatan kebijakan, namun juga meningkatkan kesadaran gender publik dan kolaborasi bersama untuk mendorong agenda untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan

Dirinya melanjutkan, “Meskipun misalnya, Pemilu Legislatif tahun 2019 lalu, berhasil mengantarkan 118 anggota DPR perempuan dan menambahkan persentase perempuan dari 575 anggota DPR di Senayan, tidak otomatis berarti 246 Prolegnas yang terdaftar di DPR menjadi Prolegnas yang peka gender, apalagi pemberdayaan perempuan. Masih banyak hal yang harus kita bersama desak ke DPR dan Pemerintah untuk legislasi yang berbasis gender. Diantaranya yang mendesak adalah: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; kritik dan pencabutan RUU KUHP; RUU Kesetaraan Gender; revisi UU ITE; RUU Perlindungan Saksi dan Korban; RUU Perlindungan dan Bantuan Sosial; RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak; kritik terhadap RUU Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual; RUU Perlindungan Anak; RUU Pengasuhan Anak; RUU terkait Perlindungan Tenaga Kerja Honorer dan Tenaga Kerja Lepas, serta terkait penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”

Untuk itu, diperlukan informasi valid dan pemahaman berbasis gender yang kuat, serta berdasarkan konteks isu perempuan di Indonesia. Hal ini penting untuk mendorong tidak hanya kesadaran publik dan pemberdayaan perempuan untuk merealisasikan agenda tersebut, namun juga untuk mengadvokasi kebijakan publik yang relevan, inklusif, kontekstual, dan peka gender, khususnya terkait pengalaman unik dan kerentanan perempuan. Misalnya, data Bappenas pada tahun 2019 menyebutkan bahwa, lebih dari 25 juta penduduk misikin di Indonesia, di mana tingkat kemiskinan perempuan relatif lebih tinggi di semua provinsi dan di seluruh lapisan usia. Belum lagi, jumlah perempuan penyandang disabilitas (18-59 tahun), yang menurut data Kemenkes (2018), lebih besar daripada laki-laki. Terkait COVID-19, kebijakan percepatan penanganan COVID-19, juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap perempuan. Hal ini pula yang diangkat oleh Komnas Perempuan dalam pernyataan pers pada 26 Maret 2020 lalu, yang menggarisbawahi kerentanan terhadap perempuan baik di lingkup keluarga maupun di ranah pekerjaan, misalnya terkait peningkatan beban berlapis, kerentanan KDRT yang cenderung dilakukan orang-orang terdekat, serta lemahnya perlindungan terhadap pekerja perempuan, khususnya di sektor informal dan sektor ekonomi kreatif.

Sebagai penutup, Adinda menegaskan kembali bahwa kompleksnya permasalahan tersebut membuat agenda pemberdayaan perempuan menjadi krusial untuk ditindaklanjuti oleh berbagai pihak, dengan berangkat dari pemahaman akan pengalaman unik perempuan dan kerangka pemberdayaan perempuan yang komprehensif. Hal ini sangat dibutuhkan untuk untuk mendorong kebijakan yang peka gender dan memberdayakan perempuan Indonesia.

 

 

Adinda Tenriangke Muchtar

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

dinda@theindonesianinsitute.com

Komentar