Selasa, 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 atas perkara Pengujian Undang-Undang (judicial review) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 (UU No. 23 Tahun 2006) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU No. 24 Tahun 2013) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Perkara ini diajukan oleh beberapa pemohon yang secara keseluruhan merupakan penghayat kepercayaan tertentu di Indonesia. Ruang lingkup pasal yang diuji meliputi, Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU No. 24 Tahun 2013. Pasal 61 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006 mengatur tentang sejumlah keterangan yang harus dicantumkan di dalam Kartu Keluarga (KK) yang berisi beberapa kolom, salah satunya kolom agama. Sementara Pasal 61 ayat (2) mengatur tentang pengosongan kolom agama yang dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan.
Sedangkan Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU No. 24 Tahun 2013 pada dasarnya mengatur hal yang sama dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) dalam konteks pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP Elektronik). Berdasarkan Pasal 64 ayat (5) kolom agama dalam KTP Elektronik bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan adalah tidak diisi atau dikosongkan.
Ketentuan tersebut bagi para Pemohon sangatlah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan merupakan ketentuan yang diskriminatif. Khususnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945. Oleh karenanya para Pemohon meminta Majelis Hakim MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Pokok permohonan Pemohon yang dimaksud adalah menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai (conditionally constitutional) frasa “agama” termasuk juga kepercayaan. Kedua, menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya (Vide Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, hlm. 31).
Hasil akhir dari perjuangan para Pemohon dalam perkara tersebut adalah dikabulkannya permohonan Pemohon untuk seluruhnya oleh Majelis Hakim melalui Putusan No.97/PUU-XIV/2016. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2006 jo. UU No. 24 Tahun 2013 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan (Tempo.co, 7/11/17).
Putusan MK tersebut disambut banyak pujian dari masyarakat di samping rasa bahagia para Pemohon karena dengan adanya putusan ini maka jaminan perlindungan hukum bagi mereka semakin kuat. Sekretaris Tuntunan Agung Sapta Darma, Bambang, menyatakan bahwa keputusan ini adalah angin segar bagi para penghayat semuanya setelah berpuluh-puluh tahun tidak mendapatkan haknya. Kalangan penghayat selama ini menjadi terpinggirkan karena dianggap tidak memiliki agama bahkan ada yang dianggap komunis (detikNews, 7/11/17).
Selain itu, banyak diskriminasi lainnya yang telah dirasakan oleh penghayat kepercayaan akibat perlindungan hukum yang tidak konsisten. Seperti kesulitan dalam membuat akta atau dokumen tertentu bagi anak-anak mereka karena perkawinan mereka dengan menggunakan adat kepercayaan mereka tidak diakui oleh Pemerintah (Vide Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, hlm. 5-7). Kemudian, berbagai permasalahan dan ekslusi dari aspek pemenuhan hak-hak dasar dan kebijakan publik, yakni banyaknya ketidakcocokan antara identitas agama yang dituliskan di dalam KK dan KTP Elektronik. Dalam hal pekerjaan, di beberapa kasus penganut kepercayaan ini tidak dizinkan berlibur pada hari peribadatan kepercayaan yang dianut (Vide Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, hlm. 7).
Menurut Majelis Hakim pada hakikatnya hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang maha Esa merupakan hak konstitusional warga negara dan bukan pemberian negara. Dalam prinsip negara hukum demokratis, peran Negara adalah berkewajiban untuk melindungi yang juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan hak-hak tersebut. Hak menganut agama/kepercayaan adalah bagian dari hak asasi manusia kelompok hak-hak sipil dan politik. Hak asasi ini bersumber dari konsepsi hak-hak alamiah (natural rights). Sebagai bagian dari natural rights, maka hak ini melekat pada setiap orang karena kodratnya sebagai manusia, dan sekali lagi bukan pemberian negara (Vide Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 hlm. 138-139).
Secara konstitusional kebebasan beragama atau berkeyakinan juga telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut memberikan jaminan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, disertai dengan kewajiban negara melindungi setiap warga negara untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, tanpa terkecuali penghayat keperyaan atau penganut agama-agama lokal.
Sebagai hak kodrati yang melekat pada diri setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, seharusnya kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan bagaimanapun. Namun di Indonesia dipahami bahwa pembatasan hak asasi manusia dimungkinkan asalkan dilakukan hanya dengan undang-undang. Sayangnya pembatasan yang diberikan di dalam undang-undang tertentu dalam beberapa kasus seringkali memunculkan ketidakpastian hukum dan justru menimbulkan perlakuan yang diskriminatif. Seperti halnya ketentuan kolom agama di dalam UU Administrasi Kependudukan, baik UU No. 23 Tahun 2006 maupun UU No. 24 Tahun 2013, di mana pada praktik aliran kepercayaan atau penghayat kepercayaan legitimasinya tidak dijamin karena tidak dapat mengisi kolom agama dalam KK maupun KTP Elektronik.
Padahal, jika merujuk pada Pasal 58 ayat (2) huruf H UU No. 23 Tahun 2006 diatur mengenai data dan dokumen pendudukan yang terdiri dari data perseorangan salah satunya “agama/kepercayaan”. Sehingga seharusnya ketentuan di dalam pasal lainnya, khususnya Pasal 61 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU Administrasi Kependudukan secara konsisten juga memuat frasa “agama/kepercayaan” dan bukan hanya “agama” saja. Pada akhirnya frasa “agama” ini hanya merujuk pada 6 (enam) agama yang diakui di Indonesia sebagaimana diatur dalam Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PNPS No. 1 Tahun 1965). Dalam Penjelasan Pasal 1 UU PNPS No. 1 Tahun 1965 dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Padahal, ketentuan dalam UU PNPS No. 1 Tahun 1965 ini tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar 6 agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada tataran yang lebih konkrit yakni pelaksanaannya, Putusan MK yang memberi tafsir lebih luas dari frasa “agama” yang meliputi kepercayaan, harapannya dapat menjadi dasar hukum yang kuat bagi perlindungan dan pengakuan atas hak konstitusional penghayat kepercayaan atau agama-agama lokal di Indonesia. Salah satunya dalam hal pembuatan dokumen atau akta sebagai bagian dari administrasi kependudukan.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com