Upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan negara di sektor pertambangan sepertinya tidak berjalan dengan mulus. Pasalnya, pengusaha tambang diharuskan untuk membangun smelter guna meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan pemurnian. Hal ini kemudian yang membuat beberapa pengusaha tambang keberatan.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang disahkan pada tanggal 11 Janauri 2014 kemarin tersebut ditegaskan bahwa perusahaan pertambangan yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) diwajibkan untuk melakukan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri sejak diberlakukannya PP tersebut. Secara langsung, pemerintah memerintahkan kepada perusahaan-perusahaan tersebut untuk melarang ekspor mineral dalam bentuk mentah ke luar negeri.
Kebijakan larangan ekspor mineral ini merupakan implementasi dari UU No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang diturunkan dalam bentuk PP Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Seperti diketahui, salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, mengajukan gugatan ke arbitrase internasional. Sebab, Newmont berkeberatan atas pemberlakuan UU Minerba yang berlaku sejak 12 Januari kemarin. Garis besar yang tengah diajukannya adalah agar Newmont memperoleh izin kembali untuk melakukan ekspor konsentrat tembaga sehingga perusahaan dapat beroperasi kembali. Newmont berkeberatan karena menganggap larangan ekspor konsentrat tidak sejalan dengan kontrak karya yang sudah disepakati sebelumnya.
Penulis menilai ada beberapa dampak yang dapat timbul dari polemik tersebut. Pertama, dengan berhentinya kegiatan produksi Newmont, pemerintah bisa jadi mengalami penurunan pada penerimaan negara. Pasalnya, dalam kurun waktu 13 tahun beroperasi (2000 – 2013), Newmont telah berkontribusi kepada perekonomian nasional sebesar USD 8,832 miliar. Selain itu, Newmont tengah memberikan pajak, non-pajak, dan royalti kepada pemerintah pusat-daerah mencapai 35,7 persen dari kontribusi nasional (Bisnis, 2014).
Kedua, polemik antara Newmont dengan pemerintah ini menyebabkan Newmont harus mengisyaratkan adanya PHK massal kepada sekitar 80 persen karyawannya. Seperti diketahui bahwa Newmont saat ini tengah mempekerjakan sebanyak 4.000 karyawan dan 4.000 kontraktor. Angka tersebut bukanlah angka kecil dalam rangka menyerap tenaga kerja. Namun demikian, pemotongan gaji bagi karyawan tersebut sudah berlaku sejak 6 Juni lalu. Polemik tersebut tidak menutup kemungkinan bagi Newmont untuk memutus karyawan yang pada akhirnya melahirkan pengangguran massal.
Ketiga, penurunan kepercayaan investor asing di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia masih memerlukan investor asing untuk membuka usahanya yang pada akhirnya dapat menyerap tenaga kerja domestik. Dengan munculnya kebijakan ini, tentu akan menjadi disinsentif karena kekhawatiran pengusaha akan munculnya kebijakan pemerintah yang dikeluarkan dalam waktu singkat dan dianggap merugikan.
Melihat dampak tersebut di atas, tidak lantas seharusnya membuat pemerintah harus mengalah. Penulis menganggap tindakan pemerintah saat ini sudah cukup berani dengan menolak melakukan renegosiasi dengan pihak Newmont apabila pihak Newmont masih bersih keras tidak mencabut gugatan kepada arbitrase internasional tersebut. Hal ini patut kita apresiasi serta dibutuhkan konsistensi sampai pihak Newmont mau ikut aturan pemerintah.
Pasalnya, apabila dalam polemik ini pemerintah bersikap mengalah dengan melihat “kebesaran” Newmont, maka taruhannya adalah wibawa pemerintah itu sendiri. Karena ini merupakan wujud political will dari pemerintah dalam mengimplementasikan UU yang sudah dilahirkan atau dalam konteks ini adalah UU Minerba tanpa pilih kasih seberapa besar skala perusahaan tersebut.
Pemerintah juga harus benar berani mengambil alih lahan tambang tersebut apabila Newmont sudah default selama 90 hari karena lalai dalam menjalankan kewajiban sesuai kontraknya. Pada intinya adalah pemerintah harus berani melawan gugatan yang dilayangkan oleh pihak Newmont tersebut. Namun di satu sisi bukan juga berarti bahwa pemerintah menutup kemungkinan untuk membuka peluang renegosiasi selama itu menguntungkan bagi pihak Indonesia.
Tentunya ini akan menjadi pekerjaan yang berat bagi pemerintahan yang baru karena menyangkut wibawa pemerintah di kancah pengusaha baik domestik maupun internasional. Perlu diingat bahwa keberhasilan pemerintah dalam melakukan renegosiasi kenaikan harga Gas Tangguh pada awal Juli lalu seharusnya bisa menjadi modal awal bagi pemerintah untuk bisa memenangkan negosiasi kedepannya yang mampu memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Akbar Nikmatullah Dachlan, Research Associate The Indonesian Institute – akbar.nd89@gmail.com