Peneliti dari The Indonesian Institute, Muhamad Rifki Fadilah, mengingatkan presiden terpilih, Joko Widodo atau Jokowi, untuk memperhatikan sejumlah pekerjaan rumah di bidang ekonomi di tengah kesibukannya menggodok kabinet anyar. Pekerjaan rumah itu, kata dia, mesti menjadi pertimbangan dalam memilih kandidat yang bakal mengisi kursi menteri di Kabinet Indonesia Kerja Jilid II.
Rifki menjabarkan, pekerjaan rumah yang mesti dihadapi Jokowi adalah perbaikan kuantitas pertumbuhan ekonomi. “Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini, yakni 1999 hingga 2018, menunjukkan angka yang stagnan diangka 5,27 persen year on year,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 30 Juli 2019.
Menurut Rifki, saat ini pertumbuhan Indonesia stagnan di angka 5 persen. Hal itu menandai bahwa Indonesia terjebak dalam pendapatan menengah atau middle income trap. Seharusnya, menurut dia, Jokowi dapat mengentaskan Indonesia dari jebakan tersebut dan menggapai pertumbuhan hingga 7 persen.
Pekerjaan rumah kedua, kata dia, Indonesia mesti meningkatkan kualitas pertumbuhan dan pembangunan. Salah satu yang dapat diukur dari sisi kualitas tersebut adalah pemerataan distribusi pendapatan yang dilihat dari rasio gini.
“Secara nasional memang rasio gini Indonesia turun, tetapi kalau lebih seksama lagi, ada sebuah anomali yang terjadi. Misalnya, sejak September 2016, rasio gini di pedesaan terus merangkak naik hingga menyentuh angka 0,324 pada Maret 2018 atau naik 0.004 dibandingkan Maret 2017 yang hanya sebesar 0.320,” ujarnya. Bila pembagian kue ekonomi merata, tingkat kesenjangan, kata Rifki, semestinya turut menurun.
Adapun pekerjaan rumah ketiga adalah kinerja perpajakan. Rifki menilai, selama 2012 hingga 2018, rasio pajak Indonesia mengalamai penurunan sebanyak 1 hingga 2 persen.
Keempat, tantangan yang mesti dihadapi Jokowi adalah neraca transaksi berjalan yang acap defisit. Menurut Rifki, pemerintah harus menghitung matang kebijakan impor. “Neraca dagang dibebani oleh tingginya impor minyak dan gas sehingga nilai surplusnya tidak kuasa menutup defisit neraca jasa. Imbasnya, perekonomian bergantung pada arus dana dari neraca modal dan neraca finansial yang mudah sekali berpindah,” tuturnya.
Sumber: Tempo.co