Gegar (lagi) Redenominasi Rupiah

Rencana redenominasi mata uang rupiah kembali mencuat di tengah pandemi COVID-19. Rencana itu diperkuat oleh pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (redenominasi). Usulan RUU ini juga masuk ke dalam Program Legislasi Nasional/Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Adapun urgensi RUU redenominasi ini antara lain untuk efisiensi perekonomian, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Jika ditelusuri, nyatanya rencana ini bukanlah suatu rencana yang baru. Rencana ini sudah muncul dari rezim Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) digawangin oleh Darmin Nasution hingga Agus Martowardoyo. Namun, rencana ini belum sempat terealisasikan hingga hari ini. Lebih lanjut, rencana ini juga banyak menuai kontroversi baik atas peluang redenominasi akan meningkatkan efisiensi ekonomi maupun persoalan biaya (cost and benefit) yang muncul karenanya adanya potensi kegagalan. Hal-hal tersebut merupakan aspek yang harus diperhatikan juga, apalagi mengingat kondisi perekonomian Indonesia maupun dunia yang sedang tidak baik saat ini.

Makna hingga Implikasi Redenominasi

Dalam tataran teoritis, redenominasi mata uang adalah suatu proses di mana suatu unit baru dari uang menggantikan unit yang lama dengan suatu rasio tertentu. Hal ini dapat dicapai dengan mengeliminasi angka nol atau memindahkan beberapa desimal poin dari mata uang ke sebelah kiri, dengan tujuan untuk mengoreksi mata uang dan struktur harga, serta meningkatkan kredibilitas dari mata uang lokal (Center Bank of Nigeria, 2007).

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa sebuah negara melakukan redenominasi mata uang mereka, mulai dari tujuan kredibilitas, serta identitas terhadap politik dalam negeri dan internasional (IMF 2003; Mosley, 2005; Martinez, 2007), tekanan inflasi, efek psikologis, pengendalian terhadap mata uang dan kondisi politik dalam negeri (Cohen, 2004; Mosley, 2005; Tarhan, 2006; Lead Capital Limited, 2007). Namun, pada umumnya negara yang melakukan redenominasi adalah mereka yang bermasalah dengan angka inflasi tinggi bahkan hiperinflasi (inflasi yang mencapai angka 50 persen perbulan), seperti yang dialami Argentina tahun 1980-an, Brasil tahun 1990-an, Yunani tahun 2009, dan Zimbabwe tahun 2010 (Wisageni, 2020).

Lebih lanjut, jika kita telusuri nyatanya dampak redenominasi mata uang terhadap perekonomian suatu negara masih menunjukkan dampak yang ambigu. Lihat misalnya studi dari Iona (2005) menyimpulkan ada dampak jangka panjang dari redenominasi dapat membuat terbangunnya kepercayaan publik terhadap mata uang domestik, meningkatnya tabungan dalam mata uang domestik, serta uang yang disimpan di luar sistem keuangan nasional akan masuk ke dalam pasar. Kemudian, studi dari Lianto dan Suryaputra (2012) juga menyatakan bahwa dampak terbesar dari redenominasi adalah dapat meningkatkan kredibilitas negara di mata negara lain, mata uang domestik akan menjadi semakin kuat dan menambah kepercayaan diri masyarakat terhadap mata uangnya.

Sebaliknya, studi Hobijn et al (2006) justru menunjukkan bahwa pasca diberlakukannya redenominasi euro memicu terjadinya peningkatan harga. Hal ini disebabkan oleh harga-harga yang dirasakan lebih murah oleh konsumen dan mendorong sifat konsumtif dari masyarakat. Kemudian, studi dari Gamble et al (2002) juga menunjukkan hal serupa, di mana adanya kenaikan tingkat inflasi di Ghana pasca kebijakan redenominasi akibat adanya kasus trivialization, saat konsumen membiarkan kenaikan harga tanpa menuntut adanya uang kembalian dari penjual. Akibatnya, inflasi di Ghana mengalami kenaikan sebesar 5 persen (year on year) setelah redenominasi.

Untuk kasus Indonesia, sepertinya juga tidak akan jauh berbeda dengan apa yang terjadi di negara lain. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya harga produk-produk yang memiliki angka ganjil. Misalnya, banyak beredar di pasaran harga yang tercetak sebesar Rp10.560, Rp11.900, dan lain-lain. Tentu melalui skema redominasi akan membuat harga barang-barang yang memiliki angka ganjil tadi mau tidak mau harus dibulatkan (re-scalling). Untuk proses re-scalling ada dua opsi yang dapat dilakukan; membulatkan ke bawah (menurunkan harga) atau membulatkan ke atas (mark-up).

Skema pertama membawa implikasi pada deflasi. Logikanya, pembulatan ini akan terjadi secara massal terhadap barang-barang secara umum. Secara teoritis, skema ini akan berdampak kepada penurunan harga barang yang curam dan hal ini akan berlangsung dalam jangka panjang. Sementara itu, skema kedua justru akan berimplikasi sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa redenominasi ini bisa berdampak terhadap naiknya inflasi hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan harga-harga akibat proses mark-up harga barang di pasar.

Secara umum, dari dua skema yang ada memiliki implikasi yang sama, yaitu adanya guncangan harga yang dapat menimbulkan efek psikologis di masyarakat yang menilai bahwa nilai mata uang rupiah seolah-olah nilainya menjadi kecil, alih-alih menyederhanakan angkanya (money illusion). Selain itu, adanya redenominasi mata uang juga membawa potensi munculnya kesalahan persepsi dari masyarakat yang mengira redenominasi adalah sanering. Per definisi sanering adalah kebijakan penghilangan angka nol pada mata uang, namun pemotongan tersebut tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun. Pemahaman mengenai redenominasi yang salah pada masyarakat dapat menimbulkan kepanikan yang dapat membuat situasi ekonomi mengalami gejolak (Hobijn et al, 2006).

Apa yang dapat dilakukan?

Iona (2005) menekankan bahwa redenominasi mata uang akan sukses dilakukan jika hanya memenuhi dua kondisi; tingkat inflasi yang rendah dengan kecenderungan yang menurun; dan berhasilnya program reformasi dan restrukturisasi ekonomi, seperti pertumbuhan Produk Domestik Bruto riil yang tinggi. Jika kondisi terebut tidak terpenuhi, maka redenominasi menjadi tidak berguna. Memang tingkat inflasi Indonesia sudah dapat dibilang cukup aman (di bawah 3 persen). Namun, dari syarat yang kedua terlebih kita sedang dihadapkan dengan ancaman resesi akibat COVID-19 yang membuat perekonomian Indonesia bahkan dunia menjadi tidak stabil. Bahkan pada Kuartal II-2020 ini ekonomi Indonesia diproyeksikan akan tumbuh minus seiring dengan perlambatan aktivitas ekonomi domestik maupun internasional.

Oleh sebab itu, syarat untuk memuluskan jalannya redenominasi menjadi berat. Kendati demikian, hal ini juga sekaligus menjadi tantangan bagi Kemenkeu dan BI untuk memacu dan menstabilkan kembali perekonomian guna memenuhi ‘hajat’ redenominasi rupiah. Kemudian, Kemenkeu dan BI juga perlu melakukan sosialisasi yang masif kepada masyarakat mengenai kebijakan redenominasi ini. Utamanya kepada masyarakat yang berada jauh dari pusat informasi dan berada di pelosok daerah. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kesalahan persepsi dari masyarakat mengenai redenominasi rupiah ini. Dengan demikian, masyarakat juga dapat membiasakan dan menerima uang baru yang diedarkan. Beberapa ekonomi memprediksikan bahwa proses ini memakan waktu sekitar sepuluh tahun dengan catatan jika BI dan Kemenkeu memang benar-benar serius dan mau mewujudkan rencana redenominasi rupiah ini.

Sebagai penutup, jika memang kebijakan redenominasi ini ingin segera dimplementasikan, maka Kemenkeu dan BI harus segera membentuk tim kajian untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai efek yang akan diberikan dari adanya kebijakan redenominasi ini. Setelah ditemukan, BI juga harus benar-benar memikirkan dan memitigasi efek ke depannya bagi perekonomian nasional khususnya stabilitas perekonomian Indonesia terutama di tengah pandemi COVID-19 ini.

 

Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar