Tahun ini pertama kalinya Pemilihan Umum (Pemilu) dilaksanakan secara serentak, menggabungkan Pemilihan Legislatif dan juga Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu serentak dilaksanakan berdasarkan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan Akademisi Effendi Ghazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak terhadap UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres. Gugatan itu terregister dengan nomor 14/PUU-XI/2013 (kumparan.com, 18/11/2018).
Alasan mereka sederhana, penyelenggaraan pemilu serentak lebih efisien baik dari segi waktu maupun biaya. Berdasarkan perhitungan anggota KPU saat itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran Rp 5 sampai Rp 10 triliun. Sedangkan berdasarkan perhitungan Anggota DPR F-PDIP Arif Wibowo, pemilu serentak mampu menghemat dana sekitar Rp 150 triliun, atau sepersepuluh APBN dan APBD. Pada akhirnya, MK mengabulkan sebagian gugatan tersebut. Majelis hakim MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak (kumparan.com, 18/11/2018).
MK beralasan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg, ditemukan fakta capres terpaksa harus bernegosiasi politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya memengaruhi roda pemerintahan. Selain itu, MK berpendapat penyelenggaraan Pilpres dan Pileg secara serentak akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan bisa lebih menghemat uang negara (kumparan.com, 18/11/2018).
Alih-alih menghemat anggaran nyatanya ongkos pemilu serempak ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan ongkos pemilu sebelum-sebelumnya. Hal ini terbukti dari pengalokasian anggaran sebesar Rp 24,8 triliun untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pilpres 2019. Alokasi anggaran ini naik 3 persen atau bertambah Rp 700 miliar dibanding biaya Pemilu dan Pilpres 2014 lalu yang mencapai Rp 24,1 triliun. Juga sebelumnya pada tahun 2018, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pemilu sebesar Rp 16 triliun (tirto.id, 16/8/2018).
Selain membengkaknya ongkos pemilu, pelaksanaan pemilu serempak ini juga memakan waktu panjang dan melelahkan. Buntut panjang dari hal ini adalah banyaknya korban jiwa yang berjatuhan akibat kelelahan mengurus pagelaran akbar ini.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis total petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit dan meninggal dunia saat menjalankan tugas di Pemilu serentak 2019. Petugas KPPS yang sakit berjumlah 883 orang dan yang meninggal dunia berjumlah 144 orang (detik.com, 25/4).
Melihat banyaknya kesemerawutan pelaksanaan pemilu serentak ini, banyak tokoh yang berpendapat bahwa perlu dilakukannya evaluasi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengusulkan agar pemilu dipisahkan dalam beberapa tingkatan, yakni: Pilpres bisa digelar bersamaan dengan Pileg untuk DPR, Pemilihan Gubernur dengan Pileg DPRD provinsi, dan Pemilihan Bupati/Walikota dengan Pileg DPRD Kabupaten/Kota. Usul senada disampaikan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut pemilu serentak mampu mengurangi beban penyelenggara pemilu. Namun, Perludem menilai sistem yang berlaku saat ini bukan pemilu serentak, melainkan borongan (tempo.co, 24/4).
Menyikapi hal ini, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menyebutkan ada wacana memisahkan pemilu serentak di tingkat daerah dengan pemilu serentak di tingkat nasional. Wacana itu, kata Hasyim, berasal dari riset evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pemilu 2014 (cnnindonesia.com, 23/4).
Berdasarkan persoalan dan beberapa pendapat diatas, penulis sepakat jika diperlukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pemilu serentak. Sejak awal terdapat kelemahan dalam penyusunan kebijakan pelaksanaan Pemilu serentak. Keputusan MK seharusnya diikuti oleh proses penyusunan kebijakan berbasis bukti dengan data yang kuat, berdasarkan simulasi terhadap penyelenggaraan. Dengan demikian, beban penyelenggaraan pemilu dapat diidentifikasi sejak awal dan langkah-langkah untuk mitigasi resiko dapat dipikirkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sangat disayangkan jika hasil riset evaluasi KPU yang disampaikan oleh Komioner KPU, Hasyim Asy’ari di atas hanya menjadi wacana. Seharusnya hasil riset dapat menjadi dasar pembuatan kebijakan.
Keputusan kebijakan harus diambil berdasarkan sejumlah bukti yang kuat, bukan hanya satu atau dua laporan penelitian. Hal ini menjamin bahwa keputusan tersebut didasarkan pada pandangan yang luas dari isu tersebut. Sebagian besar kebijakan bersifat interdisipliner dan membutuhkan pengetahuan yang berbeda-beda. Terkait dengan bukti sebagai basis kebijakan, terdapat empat jenis yaitu, pertama, data statistik dan administratif, yang membantu menggambarkan kondisi terkini dari suatu isu dan menjelaskan tren historis (Louise Shaxson, 2016)
Kedua, bukti berbasis penelitian, yang menggambarkan hubungan sebab akibat. Hal ini berkontribusi pada pemahaman kita tentang “kenapa segala sesuatu terjadi dengan caranya masing-masing” dan menjelaskan hubungan antar-isu (Louise Shaxson, 2016).
Ketiga, bukti dari masyarakat dan pemangku kepentingan (seperti organisasi masyarakat sipil atau pelaku usaha), yang berkontribusi pada pemahaman kita tentang siapa yang menilai kebijakan dan bagaimana kemungkinan mereka akan menanggapi. Keempat, bukti dari evaluasi, yang membantu menjelaskan keberhasilan di masa lalu atau dalam situasi yang serupa. Semua jenis bukti yang berbeda ini dipetakan untuk mencapai sasaran kebijakan (Louise Shaxson, 2016).
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat diatas, evaluasi berbasis riset terhadap pelaksanaan Pemilu serentak wajib untuk dilakukan. Hasil riset evaluasi tersebut harus menjadi rujukan untuk perbaikan kebijakan penyelenggaraan Pemilu ke depannya.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, arfianto@theindonesianinstitute.com