Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang digelar Kamis (30/4) malam akhirnya menetapkan sepuluh Peraturan KPU (PKPU) yang menjadi pedoman pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2015 di 269 daerah. Gelombang pertama Pilkada serentak akan dimulai pada 26-28 Juli 2015 mendatang.
Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan bahwa, PKPU pencalonan yang telah dirumuskan dan disepakati KPU bahwa parpol (partai politik) yang berhak mengajukan calon atau pasangan calon adalah parpol yang menjadi peserta Pemilu tahun 2014. Baik tingkat nasional, 12 parpol, ditambah 3 parpol di Provinsi Aceh. Husni mengatakan, seluruh parpol tersebut harus memiliki Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM (SK Menkumham) sebagai bukti kepengurusan yang sah sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (beritasatu.com, 1/5).
Adapun bagi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang saat ini mempersengketakan SK Menkumham di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), KPU mengambil kebijakan untuk menunggu putusan pengadilan yang incraht atau memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat.
Konflik internal yang melanda dua partai politik, yakni Partai Golkar dan PPP berbuntut panjang. Konflik internal itu membayangi pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang akan digelar serentak untuk pertama kalinya tahun ini.
Berbeda dengan KPU, pada rapat konsultasi DPR dengan Komisi Pemilihan Umum serta Kementerian Dalam Negeri, ada tiga rekomendasi DPR yang dilahirkan yaitu; pertama, DPR tetap pada pendirian bahwa peraturan KPU tentang pencalonan seharusnya berpedoman pada putusan pengadilan sebagai syarat pendaftaran calon kepala daerah.
Kedua, DPR akan merevisi Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pilkada. Ketiga, DPR akan berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung terkait hal ini.
Selanjutnya dalam waktu dekat DPR akan merevisi secara terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Keputusan ini diambil untuk mengakomodasi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar agar bisa menjadi peserta pilkada tahun ini.
Penulis melihat keinginan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU Parpol dan UU Pilkada sarat dengan kepentingan politis. Hal ini untuk mengakomodir kepentingan kubu-kubu yang sedang berkonflik di internal Partai Golkar dan PPP.
Keinginan untuk “memaksakan” revisi UU merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan dari DPR. Dalam konteks revisi ini, menjadi sebuah pertanyaan, DPR mewakili kepentingan segelintir elite parpol yang tengah berkonflik atau mewakili kepentingan umum (publik)?
Mengutip Walter Lippmann (The Public Philosophy, 1955) bahwa dianggap menjadi kepentingan umum jika persoalan ini dipilih banyak orang, dilihat dengan jelas, dipikirkan secara rasional, serta bertindak dengan tidak hanya memperhatikan kepentingan sendiri tetapi kepentingan orang lain juga.
Sesungguhnya sangat jelas, jika apa yang akan dilakukan oleh DPR bukan mewakili kepentingan publik. Padahal jika kita melihat program legislasi nasional (prolegnas), terdapat 37 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi prioritas tahun 2015. Dimana dari 37 RUU tersebut, 26 di antaranya merupakan usulan DPR.
Sudah seharusnya DPR menanggalkan loyalitasnya terhadap kepentingan kelompok dan beralih kepada kepentingan publik. Kembali fokus kepada fungsinya untuk menelurkan UU yang menjadi kepentingan publik, bukan lagi hanya membela kepentingan segelintir elite.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com