Kontestasi politik sudah dimulai di Indonesia. Para bacapres telah menyuarakan beberapa gagasan kampanye, utamanya dari sisi ekonomi. Namun, isu lingkungan dan hal yang berkaitan dengan upaya penurunan emisi GRK masih belum terlalu ditonjolkan. Padahal, pertumbuhan ekonomi dapat berjalan beriringan dengan pelestarian lingkungan, sehingga munculah terminologi pembangunan berkelanjutan. Jika dampak kepada lingkungan diabaikan dan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata, yang terjadi adalah semakin besarnya beban biaya ekonomi yang ditanggung.
Sebagai gambaran, berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2019, setidaknya US$5,2 miliar biaya kerugian ekonomi yang ditanggung oleh Indonesia akibat kebakaran hutan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab dalam menyiapkan lahan demi pertumbuhan ekonomi. Alhasil, asap dari kebakaran hutan telah menyebabkan lebih dari 900 ribu orang menderita penyakit pernapasan, serta berhenti beroperasinya 12 bandara nasional. Ratusan sekolah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura harus tutup sementara diakibatkan kebakaran tersebut.
Indonesia sendiri memiliki perhatian di dalam pelestarian lingkungan, baik lingkungan daratan maupun lautan. Dalam melestarikan lingkungan daratan, seperti perhutanan, Indonesia telah mengimplementasikan beberapa kebijakan, seperti program perhutanan sosial dan kebijakan restorasi lahan gambut. Pertama, program perhutanan sosial. Pasal 1 Ayat 3 Perpres Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial menjelaskan bahwa perhutanan sosial adalah “sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.” Program ini bertujuan untuk dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap berpatokan pada kelestarian lingkungan. Berdasarkan data KLHK per bulan Juli 2023, pencapaian distribusi akses legal perhutanan sosial telah mencapai lebih dari 5,6 juta hektar dengan 8.317 SK Perhutanan Sosial bagi lebih dari 1,2 juta kepala keluarga.
Kedua, kebijakan restorasi lahan gambut. KLHK telah mengeluarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Nasional Tahun 2020-2049 guna memperkuat tata kelola ekosistem gambut Tanah Air. Hal ini dikarenakan lahan gambut memiliki potensi menyerap karbon yang besar, sehingga dapat memitigasi perubahan iklim. Kemenko Marves mengatakan bahwa Indonesia memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan luas area 7,5 juta ha dan dapat menyerap emisi karbon sebesar 55 miliar ton dengan potensi nilai ekonomi dari lahan gambut ini adalah Rp3.888 triliun. Restorasi lahan gambut pada tahun 2030 pun ditargetkan ambisius sebanyak 2 juta ha.
Dari sisi pelestarian lingkungan lautan, Indonesia juga memiliki fokus di dalam memperkuat ekonomi biru (blue economy). Bahkan, Indonesia telah memiliki peta jalan (roadmap) yang menjelaskan tentang rencana aksi strategis untuk ekonomi biru. Ada beberapa fase di dalam rencana aksi strategis tersebut diantaranya: (1) penguatan konsolidasi ekosistem ekonomi biru pada tahun 2023-2024 melalui koordinasi dan kerja sama para pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, LSM, dan lain-lain; (2) pengembangan ekonomi biru sebagai sumber pertumbuhan baru pada tahun 2025-2029 melalui adaptasi teknologi, penelitian, dan lain sebagainya; (3) memperluas atau mengekspansi ekonomi biru pada tahun 2030-2034 melalui diversifikasi, baik diversifikasi investasi maupun diversikasi produk; (4) peningkatan kontribusi dan daya saing ekonomi biru pada tahun 2035-2039 melalui peningkatan kualitas dan rantai pasok, serta kontribusi energi terbarukan berbasis ekonomi biru, serta (5) ekonomi biru yang inklusif, maju, dan berkelanjutan pada tahun 2040-2045, di mana ekonomi biru Indonesia diharapkan dapat menjadi pemimpin dalam rantai nilai keberlanjutan global.
Oleh karena itu, dengan melihat komitmen Indonesia dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang saat ini hanya baru beberapa tujuan yang on track, serta penurunan emisi GRK yang sejalan dengan Persetujuan Paris, para bacapres dan bacawapres diharapkan untuk mengingat isu lingkungan dalam gagasan kampanye Pemilu 2024, walaupun secara politik gagasan ini dapat dikatakan belum populis. Namun, lingkungan merupakan salah satu aspek kebijakan yang multidimensional yang seharusnya jadi komitmen serius pemimpin Indonesia di masa kini maupun masa mendatang. Gagasan lingkungan di perhelatan politik seharusnya juga jadi indikator penilaian para pemilih dalam memberikan suaranya ke kandidat yang peduli akan masalah lingkungan, termasuk pembangunan yang berkelanjutan.
Para bacapres dan bacawapres juga diharapkan dapat mengubah kerangka berpikir tentang ekonomi dan menyadari bahwa sejatinya ekonomi dan lingkungan akan selalu berdampingan. Para bacapres dan bacawapres juga diharapkan dapat menawarkan solusi atas permasalahan lingkungan sebelum ditunjuk sebagai pemimpin negeri ini. Sebagai contoh, apa upaya konkrit yang dilakukan untuk lebih menurunkan tingkat deforestasi pada tahun-tahun berikutnya, di mana tingkat deforestasi telah menunjukkan tren penurunan saat ini. Hal ini dikarenakan deforestasi dapat mengancam kesejahteraan dan ekonomi masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya pada hutan.
Selain itu, para bacapres juga dapat menjabarkan bentuk kebijakan dan insentif yang dapat mengakselerasi korporasi untuk berkontribusi di dalam Bursa Karbon, kebijakan demand side seperti apa yang dapat meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), serta gagasan solusi bagi lingkungan baik lingkungan daratan maupun lingkungan lautan lainnya. Pemilu 2024 diharapkan menjadi momentum yang digunakan dengan sebaik-baiknya oleh para bacapres dan bacawapres untuk menjabarkan gagasan berbasis sains yang konkrit, terutama bagi lingkungan, dampaknya terhadap ekonomi, maupun sebaliknya.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)