Di Balik Judicial Review UU TNI

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tenang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah disahkan dan diundangkan pada 26 Maret 2025 lalu setelah mendapat banyak perlawanan. Tata cara pembentukannya yang dianggap mengesampingkan partisipasi masyarakat dan tidak transparan menjadi garis bawah penekanan mengapa UU TNI ini mendapat banyak penolakan. Mulai dari rapat yang diselenggarakan tertutup, rancangan yang tidak diperlihatkan ke publik, sampai dengan substansi penambahan kewenangan TNI untuk menduduki lebih banyak jabatan sipil di kementerian terkait.

Dalam menindaklanjuti penolakan ini, masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai kalangan melakukan judicial review atau uji formiil/materiil ke Mahkamah Konstitusi untuk menggugat UU TNI. Per tanggal 22 Mei, dikabarkan bahwa ada 16 gugatan yang dilayangkan untuk UU TNI dan telah dilalui sidang pendahuluan. Menurut Hakim MK Saldi Isra pada sidang pendahuluan untuk 11 gugatan pertama, (news.detik.com, 10/5), jumlah gugatan ini adalah jumlah yang sangat banyak yang pernah dilakukan secara bersamaan.

Banyaknya judicial review yang dilayangkan untuk UU TNI ini menunjukkan penolakan yang memang masih terus berlangsung sedari dirancangnya UU TNI sampai disahkannya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat akan terus mencari jalan untuk memperoleh keadilan dari kanal-kanal yang tersedia ketika menghadapi instrumen hukum yang bisa mengancam demokrasi dan dinamika berbangsa dan bernegara. MK, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), memiliki tuntutan besar untuk bisa menjawab kekhawatiran masyarakat dengan menindaklanjuti judicial review terhadap UU TNI ini. Hal ini menunjukkan bahwa MK masih memiliki kepercayaan masyarakat untuk bisa memberikan keadilan.

Permohonan judicial review yang “berbondong-bondong” dilakukan adalah hak semua warga negara. Namun, hal ini juga mengindikasikan kualitas legislasi yang buruk, atau setidaknya legitimasi yang rendah. Dalam jangka panjang jika ini terus terjadi, gelombang ketidakpercayaan masyarakat pada pembentuk UU akan terus membesar. Dikhawatirkan, masyarakat tidak akan percaya bahwa pembentuk UU bisa membentuk produk yang berkualitas dan partisipatif, sehingga keadilan dipercaya hanya akan bisa didapat lewat MK. Yang mana telah tercermin dari banyaknya gugatan terhadap UU TNI ini.

Selain itu, jika MK terus dijadikan satu-satunya tempat yang bisa diandalakan masyarakat, peran MK sebagai negative legislator bisa perlahan bergeser menjadi positive legislator. Yang mana sebagai negative legislator hanya menyatakan suatu ketentuan dalam UU sebagai inkonstitusional atau konstitusional, tapi menjadi bisa memberikan norma hukum baru layaknya pembentuk UU, yaitu DPR dan Pemerintah. Pergeseran peran yang menunjukkan bentuk judicial activism (aktivisme yudikatif) ini bisa mendistrupsi pemisahan kekuasaan yang selama ini ada di Indonesia.

Maka dari itu, perlu ada pembenahan pelaksanaan mekanisme maupun sikap dari pembentuk UU supaya UU yang disahkan dan diundangkan bisa memiliki legitimasi yang dibutuhkan. DPR dan Pemerintah mengedepankan transparansi dan patrisipasi lewat cara-cara pengumpulan aspirasi yang akuntabel. Rapat pembahasan yang bersifat tertutup di luar jam kerja sebagaimana terjadi di Hotel Fairmont (16/3) diharapkan tidak terjadi lagi. Apalagi, ntimidasi terhadap kelompok masyarakat sipil yang mengikuti setelahnya.

DPR dan Pemerintah harus lebih transparan dan akuntabel dalam menerima aspirasi semua kalangan, baik masyarakat sipil maupun dari kementerian/lembaga lainnya. Harus ada mekanisme penyelenggaraan rapat dengar atau pengumpulan aspirasi sejenis, serta pengelolaan aspirasi yang memberikan jaminan bahwa aspirasi yang diterima DPR dan Pemerintah dipergunakan sebagaimana mestinya, yaitu sebagai dasar pertimbangan penyusunan UU. Tidak hanya didengar saja tapi tidak ada tindak lanjutnya.

Di samping pembenahan oleh pembentuk UU, upaya judicial review UU TNI yang sekarang sedang berjalan di MK diharapkan bisa dijalankan seadil-adilnya merujuk pada aturan pembentukan peraturan perundang-undangan, UUD NRI Tahun 1945, dan preseden-preseden terdahulu. Dengan preseden terkait partisipasi bermakna yang sudah ada sebelumnya, diharapkan MK bisa konsisten untuk menilai situasi pembentukan UU TNI dari kacamata partisipasi bermakna. Harapannya, upaya-upaya judicial review ini bisa menjadi momen berkaca diri untuk melihat sampai mana partisipasi bermakna kita dan menjadi titik balik untuk perbaikan lebih lanjut.

Komentar