Awal tahun ini muncul kembali wacana melakukan desain ulang bantuan sosial. Persis di tengah-tengah pandemi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menerangkan urgensi untuk menengok kembali implementasi sistem bantuan sosial saat ini dan celah-celah apa yang dapat diperbaiki. Dua fokus yang menjadi perhatian ialah melakukan perbaikan data penerima manfaat yang telah tertera dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan mengupayakan integrasi bantuan sosial yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga (K/L) (Kompas, 5/1; Kontan, 5/1).
Tak ayal memang mendesain bantuan sosial menjadi krusial untuk menekan angka kemiskinan seiring mencuatnya agenda pemulihan situasi sosio-ekonomi krisis. Per bulan Maret 2020, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa tingkat kemiskinan mengalami peningkatan mencapai 9,78% dari bulan September 2019. Kemudian, berbagai proyeksi kemiskinan juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) juga mengisyaratkan adanya kenaikan angka yang signifikan. Bank Indonesia, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan meningkat 11,25% atau menjadi 30,3 juta penduduk akibat pandemi (Kontan, 8/7/20).
Melihat situasi di atas, wacana reformasi bantuan sosial menjadi perbincangan yang naik lagi ke permukaan. Hal tersebut juga beriringan dengan keinginan Pemerintah Indonesia untuk menekan tingkat kemiskinan ekstrem atau berada pada level paling bawah menuju ke angka 0% pada tahun 2024 (CNN Indonesia, 5/1). Pasalnya, seperti yang dilansir dari Kementerian PPN/Bappenas, tingkat kemiskinan ekstrem (extreme poverty) di Indonesia saat ini masih berada pada kisaran 2,5% hingga 3%. Angka tersebut muncul dari persentase penduduk miskin di Indonesia yang masih hidup dengan pengeluaran di bawah US$ 1,9 per kapita per hari menurut Bank Dunia.
Potret tersebut juga menjadi cukup ironi ketika merefleksikan situasi pemberian bantuan sosial pada sepanjang tahun 2020. Mulai dari ketidaktepatan sasaran penyaluran bantuan, ketidakcukupan bantuan sosial dari sisi besaran maupun integrasi dengan bantuan sosial lain, bahkan dari sisi eksekutor atau pemerintah yang juga dirundung kasus korupsi di tengah-tengah krisis yang mencekik. Persoalan tersebut menjadi tantangan yang cukup hebat. Apalagi, ketika pemerintah tengah menginisiasi pemetaan ulang evaluasi sistem perlindungan sosial di Indonesia beberapa tahun ke belakang dan visi ke depannya.
Namun, dua fokus seperti yang disampaikan di awal tulisan ini tetap membutuhkan perhatian penting oleh berbagai pihak, terutama pemerintah. Pertama, peningkatan akurasi data penerima manfaat yang tertera dalam DTKS. Seperti yang diketahui, masih terdapat celah yang belum terisi jika merunut dari sistem DTKS yang ditujukan kepada 40% keluarga dengan sistem sosio-ekonomi paling bawah. Menurut catatan dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), DTKS yang dikelola oleh Kementerian Sosial melalui Keputusan Menteri Sosial masih berada pada angka 38% penduduk Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 97 juta atau 27 juta rumah tangga. Artinya, masih ada sekitar 2% dari jumlah penduduk yang belum terhimpun ke dalam DTKS sehingga membutuhkan perhatian yang lebih besar (TNP2K, 2020).
Belum lagi, ekspektasi tingkat ketepatan data dalam DTKS juga berhubungan dengan tingkat penyampaian bantuan sosial. Sebab, DTKS menerangkan informasi penerima manfaat berdasarkan nama dan alamat tempat tinggal dari penerima manfaat, sehingga proses pemberian bantuan sosial tersebut pun bergantung dari akurasi data tersebut. Memperbaiki ketidaktepatan DTKS menjadi upaya penting agar jurang jumlah penerima manfaat yang membutuhkan dan yang telah disalurkan dapat diperkecil atau bahkan diselesaikan. Hal ini tentu harus disokong dengan penguatan kapasitas kelembagaan, terutama melalui peningkatan sistem basis data penetapan sasaran, optimalisasi proses pembaharuan data yang berlangsung dan pemantauan berkesinambungan agar proses tersebut berjalan dengan baik.
Selain itu, perbaikan data yang berjalan juga akan beriringan dengan pemetaan sistem perlindungan sosial yang ada. Wacana ini, seperti yang diterangkan Kementerian PPN/Bappenas, berusaha membedah kembali mekanisme perlindungan sosial yang ada; baik bantuan yang diberikan oleh pemerintah, seperti bantuan sosial bersyarat dan tanpa syarat (conditional/unconditional), maupun jaminan sosial. Selanjutnya, data kelompok masyarakat yang tertera pada DTKS diharapkan dapat diintegrasikan dengan kategori jenis perlindungan sosial yang didapatkan, baik bantuan sosial reguler, jaminan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan.
Sekalipun secara penerapan membutuhkan upaya yang besar, peluang ke depannya diharapkan dapat menfasilitasi proses identifikasi terkait kebutuhan penerima manfaat terhadap perlindungan sosial secara menyeluruh. Fokus mengkoordinasi dan harmonisasi berbagai program perlindungan sosial diharapkan dapat memastikan penerima manfaat yang tepat memperoleh nilai manfaat yang cukup pada waktu yang cepat pula. Upaya ini dibangun dengan memetakan sistem informasi perlindungan sosial di berbagai K/L sekaligus melihat alur dan manajemen sumber daya di dalamnya agar integrasi basis data tersebut berjalan dengan baik.
Selanjutnya, mengenai pembenahan berbagai perlindungan sosial yang tersebar di berbagai K/L. Tentu, hal ini tak terlepas dari kebutuhan untuk menelaah kembali apakah suatu program berjalan secara efektif atau tidak sehingga dapat diputuskan mengenai keberlanjutan program tersebut. Upaya identifikasi ini juga terkait dengan upaya memprioritaskan bantuan sosial kepada kelompok rentan dan miskin dengan berbagai karakteristik kerentanan yang beragam selain kondisi sosio-ekonomi, seperti anak, lansia, disabilitas, gender, dan lain-lain.
Uraian di atas telah memperjelas kembali bahwa wacana melakukan desain perlindungan sosial memang amat dibutuhkan saat ini. Adanya pemberian bantuan sosial yang tepat sasaran dengan sistem yang baik tentunya akan mendorong resiliensi dari masyarakat dan memulihkan ekonomi dari situasi krisis. Ke depannya pun, reformasi perlindungan sosial dengan sistem pendataan yang baik dan program yang integratif akan menekan risiko kerentanan dan kemiskinan masyarakat seperti tujuan dasar dari pembangunan sistem perlindungan sosial itu sendiri.
Nopitri Wahyuni
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research