JAKARTA – Sudah 22 tahun usia gerakan reformasi di Indonesia. Ini mesti jadi momentum untuk melakukan refleksi terhadap demokrasi dan agenda reformasi di Tanah Air. Maju mundurnya demokrasi merupakan bagian dari proses pembelajaran yang panjang. Sejauh ini, demokrasi masih dipercaya sebagai sistem pemerintahan yang terbaik.
“Kita menikmati kebebasan dalam berekspresi, mengemukakan pendapat, berorganisasi, kebebasan memilih, kesempatan berpartisipasi dalam proses kebijakan maupun berkompetisi dalam ajang Pemilu, dan sebagainya,” kata Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif The Indonesian Insitute, Center for Public Policy Research (TII), di Jakarta, Jumat (29/5).
Namun, menurut Adinda, di sisi lain, pasca reformasi, bangsa Indonesia makin dihadapkan pada tantangan illiberal democracy dan penyelewengan makna demokrasi, yang termnya kerap digunakan.
Adida memberika contoh. Misalnya, meningkatnya intoleransi terhadap keberagaman maupun perbedaan pandangan, tingginya kekerasan terhadap perempuan, penggunaan jalur dan lembaga demokrasi untuk kepentingan yang bertentangan dengan demokrasi. Ada ancaman terhadap kebebasan baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang mengatasnamakan mayoritas dan banyaknya produk hukum dan kebijakan yang tidak peka gender dan kelompok marjinal. “Serta mengancam kebebasan dan hak asasi manusia,” ujarnya.
Lebih jauh, Adinda mengatakan masyarakat sipil juga menikmati berkah reformasi dan kebebasan yang menyertainya. Di sisi lain, hal ini tidak menjamin bahwa kritik dan rekomendasi dari masyarakat sipil dipertimbangkan dan berdampak dalam proses kebijakan. Apalagi masyarakat sipil dan kebebasan individu juga terancam dengan aturan seperti UU ITE, KUHP, dan juga KUHAP.
“Lepas dari tantangan yang ada, kita harus tetap optimistis akan demokrasi. Masyarakat sipil harus tetap melakukan checks and balances dan meneruskan aktivismenya dengan proaktif,” kata Adinda.
Menurutnya, hal ini penting, tidak hanya untuk ikut meningkatkan kesadaran masyarakat, namun juga mengajak masyarakat luas ikut serta terlibat dalam partisipasi politik sebagai bagian dari warga negara dan kewarganegaraan. Selain itu, kolaborasi dengan beragam pihak sangat penting sebagai bagian dari strategi dan upaya bersama untuk menjaga agenda reformasi, mendorong bahwa sistem dan lembaga-lembaga demokrasi berfungsi sebagaimana mestinya. Serta menciptakan aktivisme yang berdampak positif dan berkelanjutan bagi demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Ubedilah Badrun, dosen Universitas Islam Negeri Jakarta mengatakan, jika merujuk pada gagasan substantif reformasi 1998 yaitu ingin menghadirkan demokrasi, menghadirkan kesejahteraan rakyat, menegakan hak azasi, dan memberantas korupsi maka 22 tahun reformasi rapornya masih merah. Misalnya Indeks Demokrasi Indonesia dalam soal kebebasan sipil nilainya menurut the economist masih 5,5.
Hak azasi manusia, kasus lama tidak diselesaikan malah bertambah kasus baru, seperti penembakan dua mahasiswa Universitas Haluuleo. “Ekonomi memburuk dengan angka pertumbuhan ekonomi kwartal I 2020 hanya 2,97 persen. Korupsi makin parah, dari korupsi milyaran hingga triliunan rupiah,” kata Ubedilah.
Sedangkan Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) berpendapat, setelah 22 tahun reformasi, demokrasi Indonesia kian mengalami banyak kemunduran. Kekuasaan makin terpusat, oligarkis dan represif. Penegakan hukum juga makin jauh dari rasa keadilan rakyat sebab tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, lembaga anti-korupsi dikebiri, suara kritis diberangus, persoalan HAM makin terabaikan, kelompok minoritas masih sering tak dapat perhatian memadai, kesenjangan antar kaya dan miskin main lebar, proses pengelolaan pemerintahan makin jauh dari prinsip keterbukaan, desentralisasi politik mandek, dan lain-lain. ags/N-3
https://www.koran-jakarta.com/demokrasi-masih-jadi-sistem-pemerintahan-yang-terbaik-/