Data COVID-19: Antara Silo Mentality dan Good Governance

Pada Senin, 13 April 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), meminta data informasi terkait COVID-19, terintegrasi dan terbuka. Penyataan Presiden Jokowi ini merespons adanya kecurigaan adanya pembatasan dan tidak sinkronnya data jumlah kasus COVID-19 di sejumlah daerah.

Misalnya, hingga tanggal 13 April, Pemerintah Provinsi Banten, salah satu provinsi dengan jumlah COVID-19 tertinggi di Indonesia, telah mengumumkan 27 kasus kematian akibat pandemi ini. Namun, di tanggal yang sama, hingga satu hari kemudian, pada Selasa (14/04), Pemerintah Pusat hanya mengumumkan 22 kematian di Banten. Begitu pula di Provinsi Jawa Tengah, dimana Pemerintah Provinsi telah mengungkapkan adanya 34 kematian pada 13 April 2020. Namun, Pemerintah Pusat hanya mengumumkan adanya 26 kematian di provinsi itu hingga tanggal yang sama. Tak hanya di Banten dan Jawa Tengah, perbedaan data meninggal ataupun jumlah kasus positif, juga terlihat di daerah lain, seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Papua, dengan data di pusat lebih kecil dibanding data daerah (bbc.com, 15/4).

Selanjutnya, salah satu contoh tidak adanya integrasi informasi dan keterbukaan disampaikan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo, mengatakan baru mengetahui adanya mekanisme Kementerian Kesehatan melaporkan data COVID-19 di Indonesia ke World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia (detik.com, 6/4).

Kondisi ini menggambarkan masih adanya silo mentality di aparatur negeri ini dalam penanganan pandemi COVID-19, khususnya dalam pengelolaan data. Silo mentality dalam birokrasi diidentifikasi sebagai hambatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif (Vantaggiato, et al., 2017).

Pernyataan Presiden Jokowi yang memerintahkan jajarannya untuk mengintegrasikan dan membuka data terkait COVID-19 patut diapresiasi. Namun, jangan sampai ada lagi silo mentality yang pada akhirnya menghambat implementasi proses integrasi dan keterbukaan data. Hal ini sangat penting, mengingat keterbukaan data merupakan hal yang fundamental dalam implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Keterbukaan data juga penting untuk memperkuat hak warga negara guna mendapatkan akses informasi.

Selain itu, keterbukaan data dalam tata kelola pemerintahan yang baik diperlukan agar data yang ada juga dapat digunakan oleh para penggunanya, baik pemerintah itu sendiri, pelaku usaha, media massa, maupun kelompok masyarakat sipil. Misalnya, data yang terintegrasi dan terbuka dapat membantu Pemerintah dan pelaku usaha untuk bersinergi dalam mendorong efektivitas dan efisiensi program pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), menyediakan obat dan ventilator sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, serta kebutuhan medis terkait perawatan pasien di Rumah Sakit.

Data yang terintegrasi dan terbuka juga dapat digunakan oleh kelompok masyarakat sipil dan media massa untuk melakukan pengawasan guna menjaga kualitas transparansi dan akuntabilitas program penanggulangan COVID-19. Dengan demikian, pengawasan publik dapat meminimalisisasi peluang adanya praktik korupsi. Selain itu, data yang terintegrasi dan terbuka juga membuka ruang partisipasi dengan kolaborasi pemerintah, pelaku usaha, dan kelompok masyarakat dalam rangka bersama-sama melawan COVID-19.

Dengan demikian, data yang terintegrasi dan terbuka, serta dapat diakses oleh publik akan dapat dimanfaatkan dengan optimal untuk penanggulangan COVID-19 di Indonesia.

Arfianto Purbolaksono, Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar