Penelitian terbaru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) (2025) mengungkap temuan yang mengkhawatirkan, yakni setiap sampel air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik. Temuan ini menunjukkan bahwa krisis plastik di Indonesia telah mencapai tingkat atmosferik, di mana partikel hasil degradasi limbah plastik melayang di udara, terbawa angin, dan kembali turun bersama hujan. Fenomena ini bukan hanya simbol kegagalan tata kelola limbah perkotaan, tetapi juga menandai babak baru ancaman terhadap kesehatan publik yang memerlukan respons kebijakan yang tepat dan adaptif.
Riset BRIN menjelaskan bahwa mikroplastik di udara bersumber dari aktivitas manusia sehari-hari, seperti pelepasan serat sintetis dari pakaian, gesekan ban kendaraan, emisi industri, dan pembakaran sampah plastik terbuka. Dengan populasi yang melebihi 10 juta jiwa dan kendaraan bermotor lebih dari 20 juta unit, Jakarta menjadi kota dengan produksi limbah serta polusi dalam jumlah besar (Kementerian Lingkungan Hidup, 2025). Namun, pengelolaan limbah masih didominasi oleh sistem pengelolaan terbuka (“open dumping”) yang rentan membuat plastik mudah terurai ke udara akibat paparan sinar langsung. Praktik ini, ditambah dengan kebiasaan pembakaran sampah di ruang terbuka, mempercepat proses fragmentasi plastik menjadi partikel mikro yang kini menyebar di udara.
Masalah mikroplastik tidak berhenti pada pencemaran lingkungan. Riset Universitas Airlangga di Jawa Timur (2025) menunjukkan bahwa mikroplastik telah terdeteksi dalam cairan ketuban dan urin ibu hamil, menandakan bahwa partikel tersebut mampu menembus sistem biologis manusia yang seharusnya steril. Secara global, studi Zhang et al. (2025) mengonfirmasi bahwa partikel mikroplastik berukuran di bawah 50 mikron dapat menembus membran sel, masuk ke sistem peredaran darah, dan menumpuk di organ vital seperti paru-paru, jantung, dan hati. Akumulasi jangka panjang partikel ini dapat memicu stres oksidatif, gangguan endokrin, penyakit vaskular, dan potensi kanker. Artinya, mikroplastik bukan sekadar isu lingkungan, melainkan ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat nasional.
Hingga kini, kebijakan pengelolaan sampah dan pencegahan polusi di Indonesia masih berfokus pada penanganan limbah padat di darat, belum mengakomodir penanganan partikel mikro yang beredar di udara dan air. Padahal, pendekatan manajemen sampah berbasis siklus hidup plastik, mulai dari produksi, konsumsi, hingga pembuangan merupakan kunci dalam mengurangi risiko paparan mikroplastik. Hettiarachchi dan Meegoda (2023) menyoroti adanya “loopholes” dalam sistem pengelolaan limbah di banyak negara, termasuk Indonesia, seperti keterbatasan kemampuan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dalam menyaring partikel mikroplastik.
Dengan merujuk pada temuan tersebut, setidaknya terdapat tiga agenda strategis yang perlu menjadi perhatian utama pemangku kebijakan di Indonesia. Pertama, memperkuat tata kelola pengelolaan limbah berbasis sumber. Hal ini mencakup pelarangan praktik “open dumping”, peningkatan sistem “reduce–reuse–recycle” (3R) di tingkat rumah tangga, serta penerapan prinsip sanksi pajak bagi industri penyumbang polutan, hingga Extended Producer Responsibility (EPR) (kebijakan pewajiban pengelolaan limbah hingga akhir) bagi industri yang menghasilkan plastik sekali pakai. Selain itu, perlu investasi dalam peningkatan teknologi filtrasi tersier di IPAL agar mampu menyaring partikel <250 µm yang selama ini lolos ke perairan (Hettiarachchi & Meegoda, 2023).
Kedua, mendorong transformasi industri menuju ekonomi sirkular. Sektor tekstil dan manufaktur plastik harus diarahkan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan sintetis berbasis poliester yang berkontribusi besar terhadap pelepasan mikroserat ke lingkungan. Halden et al. (2024) merekomendasikan penerapan teknologi filtrasi mikroserat pada mesin cuci industri, pengembangan material yang mudah diurai lingkungan, dan penerapan kebijakan pelabelan ramah lingkungan (“green labeling policy”) untuk memperkuat insentif inovasi yang berkelanjutan.
Di sisi lain, harus dipastikan transparansi dan akuntabilitasnya penerapan kebijakan seperti pelabelan tersebut. Jangan sampai menambah biaya ekonomi, menghambat kebebasan ekonomi, apalagi jadi celah untuk pungutan liar maupun korupsi. Penegakan hukum menjadi kunci.
Ketiga, memperluas riset dan pemantauan nasional terhadap paparan mikroplastik. Kolaborasi lintas lembaga antara BRIN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kehutanan perlu dibangun untuk mengidentifikasi jalur paparan mikroplastik di udara, air, dan rantai makanan. Data ilmiah yang sistematis diperlukan sebagai dasar kebijakan pencegahan berbasis bukti. Hal ini penting karena riset mengenai toksisitas, bioakumulasi jangka panjang, dan interaksi mikroplastik dengan polutan lain harus menjadi prioritas riset nasional agar Indonesia mampu menyusun kebijakan yang adaptif terhadap konteks lokal.
Selain intervensi struktural, strategi perubahan perilaku masyarakat juga perlu diperkuat melalui edukasi publik tentang bahaya mikroplastik dan pentingnya pengurangan konsumsi plastik sekali pakai. Kesadaran masyarakat merupakan komponen kunci yang menentukan efektivitas kebijakan lingkungan. Pemerintah dapat menggandeng lembaga pendidikan, media, dan komunitas sipil untuk memperluas literasi pengelolaan limbah berbasis sumber dan mendukung partisipasi warga dalam sistem daur ulang. Aktivitas sederhana dalam keseharian, seperti sadar untuk membawa “tumbler” sebagai kemasan minuman dan membawa wadah makanan akan sangat membantu pencegahan kontaminasi mikroplastik ke dalam tubuh manusia.
Dengan demikian, pengendalian mikroplastik harus ditempatkan sebagai bagian integral dari kebijakan kesehatan dan lingkungan nasional. Pendekatan ini menuntut sinergi lintas sektor yang tidak hanya fokus pada pengelolaan limbah fisik, tetapi juga perlindungan kesehatan masyarakat dari ancaman polusi tidak terlihat dalam jangka panjang. Menjaga bumi berarti menjaga sistem biologis manusia yang bergantung padanya. Hujan yang turun di Jakarta hari ini seharusnya menjadi alarm ekologis dan etis bagi pemerintah, industri, dan masyarakat untuk segera bertransisi menuju sistem produksi dan konsumsi yang lebih berkelanjutan. Kebijakan berbasis bukti, tata kelola yang tegas, dan perilaku publik yang sadar lingkungan adalah fondasi untuk membangun Indonesia yang sehat dari polusi plastik.
Made Natasya Restu Dewi Pratiwi
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
natasya@theindonesianinstitute.com
The Indonesian Institute Center For Public Policy Research