Pandemi COVID-19 telah berhasil mengguncang dunia. Di negara asalnya, perekonomian Cina mengalami kontraksi sebesar minus 6,8 persen pada kuartal I-2020 (Biro Statistik Nasional China/NBS, 2020). Kontraksi ekonomi Negeri Tirai Bambu ini membawa dampak yang tidak ringan khususnya terhadap kinerja rantai pasok global yang turut terganggu. Sebagaimana kita ketahui, Cina merupakan salah satu pusat dari jaringan produksi atau hub jaringan produksi dunia. Tak hanya itu, Cina juga menjadi pusat produksi untuk bahan pembantu atau barang modal bagi banyak negara di dunia. Dengan terganggunya perekonomian Cina, maka akan membawa efek domino terhadap Global Value Chain (GVC).
Situasi di atas pun semakin pelik, pasalnya selain dari sisi supply side, adanya ekspektasi yang buruk dan ketakutan akan krisis ekonomi global juga turut mengakibatkan adanya penurunan tajam dalam permintaan konsumen (demand side) secara global. Dengan demikian, GVC kini terdampak dari dua sisis; supply dan demand. Padahal, perlu digarisbawahi bahwa GVC merupakan sesuatu yang sangat penting untuk sistem produksi di dunia saat ini. Per definisi, menurut World Bank, GVC adalah suatu proses untuk menghasilkan satu produk barang jadi yang melibatkan beberapa negara, mulai dari proses produksi hingga proses pemasarannya. GVC dapat berperan dalam mendorong peningkatan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, serta peningkatan standar hidup suatu negara.
Tantangan konektivitas hingga proteksionisme
Selain permasalahan di atas, di tengah kondisi pandemi saat ini, GVC juga mendapatkan tantangan tersendiri yang bersifat internal dari negara-negara di ikut di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui, saat ini dunia tengah mengalami gangguan pertumbuhan konektivitas. Hampir semua negara telah merelokasi anggaran pembangunan infrastrukturnya ke pos belanja kesehatan dan jaringan pengaman sosial. Akibatnya, pertumbuhan konektivitas menjadi stagnan dan diproyeksikan bahwa gangguan pertumbuhan konektivitas ini akan berlangsung hingga beberapa tahun ke depan, tergantung dari seberapa cepat proses economic recovery negara-negara yang terdampak (ERIA, 2020). Padahal, pertumbuhan konektivitas merupakan salah satu faktor penting untuk memperkuat GVC.
Tidak hanya faktor konektivitas, hal lain yang menjadi tantangan adalah adanya peningkatan biaya operasional GVC lantaran terbatasnya pasokan input dan penerapan Non-Tariff Measurement (NTM) yang restriktif. Perilaku ini salah satunya juga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan tentang COVID-19 dan ketidakpastian kapan pandemi ini akan berakhir. Alhasil, banyak negara yang mengubah kebijakannya, termasuk kebijakan perdagangan internasionalnya menjadi cenderung lebih proteksionis dan restriktif untuk mengontrol pergerakan faktor input keluar dari negaranya masing-masing dengan dalih keamanan nasional. Buntut panjangnya, banyak negara mulai meningkatkan standar untuk langkah-langkah keamanan pangan dan sanitasi.
Dari data yang dihimpun, ada sekitar 54 negara kini memberlakukan batasan ekspor untuk barang-barang medis dan pangan (PIIE, 2020). Beberapa negara, seperti Rusia, mengumumkan larangan sepuluh hari untuk ekspor soba dan beras karena kekhawatiran akan paniknya pembelian di supermarket lokal. Kemudian, Kazakhstan dan Ukraina juga menerapkan kebijakan serupa dengan adanya pembatasan ekspor sopa dan beras ke luar negeri.
Kemudian, banyak anggota G20 membatasi atau melarang ekspor produk medis. Misalnya, US Federal Emergency Management Agency sekarang telah memblokir ekspor alat pelindung diri tanpa lisensi. Pembatasan ini membahayakan orang-orang di negara miskin yang tidak memiliki akses ke alat-alat medis dan dapat memprovokasi negara lain untuk meniru dan membalas tindakan AS. Buntut panjang dari pembatasan seperti ini dapat menyebabkan harga pangan dan kebutuhan medis lainnya menjadi jauh lebih tinggi di seluruh dunia. Satu studi menemukan bahwa pembatasan ekspor menyebabkan harga beras internasional naik 45 persen dan harga gandum internasional naik sebesar 30 persen selama krisis 2006-08 (East Asia Forum, 2020)
Beberapa langkah mitigasi
Untuk memitigasi hal-hal di atas, ada sejumlah komitmen tidak boleh dilupakan dan harus dilakukan oleh negara-negara untuk memfasilitasi pemulihan ekonomi dengan cepat pasca COVID-19 ini. Pertama, konektivitas. Komitmen ini harus fokus untuk memastikan konektivitas berkelanjutan antarnegara. Konektivitas perlu diperdalam dan diperlebar untuk mengurangi biaya transaksi GVC di berbagai negara. Perlu dikatakan bahwa mewujudkan komitmen pembangunan konektivitas pasca COVID-19 tidaklah mudah. Anggaran negara kemungkinan akan tetap difokuskan untuk pemulihan ekonomi-sosial pascapandemi COVID-19 yang mengakibatkan munculnya pelebaran defisit anggaran. Oleh sebab itu, maka negara-negara di kawasan seperti ASEAN, semestinya dapat meningkatkan kerja sama dan peningkatan peran investasi sektor swasta setidaknya dalam jangka menengah setelah pandemi. Mekanisme pembiayaan public–private partnerships untuk pembangunan infrastruktur pun dapat diterapkan.
Kedua, liberalisasi perdagangan. Komiten lanjutan pasca COVID-19 ini adalah harus berfokus kepada penyederhanaan, harmonisasi dan perampingan NTM berdasarkan pertimbangan cost-benefit analysis yang cermat. Tindakan yang dilakukan selama atau pandemi dengan memperketat NTM harus dihilangkan jika tidak lagi diperlukan. Negara-negara, baik di tingkat global maupun yang berada di suatu kawasan tertentu juga harus transparan mengenai kebijakan dan penerapan langkah-langkah pemulihan ekonomi setelah pandemi. Negara-negara harus kembali mengikuti komitmen yang sebelumnya ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO), termasuk pembebasan ekspor barang pangan dan sanitasi. Inisiatif lain adalah untuk memastikan keterbukaan dalam layanan transportasi udara, terutama untuk pengiriman barang input pasokan GVC. Jika perlu, layanan angkutan udara barang dapat dibuat lebih terbuka dari sebelum adanya pandemi COVID-19 ini.
Terakhir, untuk kawasan ekonomi regional, khususnya ASEAN. ASEAN seharusnya dapat mengakomodasi semua rekomendasi di atas melalui diskusi dengan lembaga-lembaga terkait dari masing-masing negara anggotanya. Apalagi sejak tahun 2015 lalu, ASEAN sudah berkomitmen untuk menyokong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Hal ini juga dapat menjadi momentum untuk menghidupkan kembali ekonomi regional setelah pandemi, khususnya untuk meninjau kembali kerangka kerja yang sudah diadopsi dan menyesuaikannya dengan model GVC yang lebih kompleks, terutama di tengah ‘new normal’ yang disebabkan oleh pandemi COVID-19. Dengan demikian, blueprint MEA berikutnya harus secara signifikan lebih komprehensif dan tahan terhadap beragam guncangan, baik yang diakibatkan peristiwa ekonomi, bencana, maupun lainnya, termasuk wabah seperti COVID-19 maupun virus lainnya di masa mendatang.
Pada akhirnya, pembahasan ini juga tidak boleh dilupakan oleh para pemangku kebijakan di dunia. COVID-19 memang menjadi batu kerikil yang dapat menghambat integrasi ekonomi dan mengganggu rantai pasok global. Oleh sebab itu, kebijakan dan upaya untuk menurunkan bahkan menghilangkan pandemi adalah penting. Namun, tidak lupa, pasca-COVID-19 ini, negara-negara di dunia juga harus segara lincah untuk mengatur kebijakannya lagi guna mengejar ketertinggalannya secara komprehensif dan peka akan krisis dan situasi mendesak. Hal ini sangat penting untuk membantu upaya global, khususnya untuk membuka kembali aliran rantai pasok global dan integrasi ekonomi yang sempat renggang.
Rifki Fadilah
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research