COVID-19 dan Masa Depan Festival Musik Indonesia

Sudah hampir enam bulan masyarakat menghentikan aktivitas berkumpul bersama akibat pandemi COVID-19. Tentu saja hal ini berdampak langsung ke sektor-sektor yang berhubungan dengan aktivitas pengumpulan massa. Salah satunya festival musik. Mengapa festival musik? Pertama, menurut World Economic Forum (WEF), festival musik merupakan salah satu jalur keuntungan utama industri musik dengan yang mampu menghasilkan 50 persen keuntungan yang berasal dari jumlah penjualan tiket (kontan.co.id, 2020). Kemudian, tidak dapat dipungkiri bahwa event, baik itu gigsconcert, maupun festival merupakan salah satu medium yang krusial bagi perkembangan industri musik.

Di Indonesia, secara umum industri musik dan sektor pendukungnya termasuk ke dalam subsektor dari ekonomi kreatif. Mengutip data Statistik Ekonomi Kreatif, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor musik pada tahun 2017 menyumbang sebesar 8 persen dan berkontribusi terhadap PDB ekonomi kreatif sebesar Rp4,89 triliun (Badan Ekonomi Kreatif, 2017). Selain itu, dari perspektif ekonomi, festival musik melibatkan banyak sekali rantai pelaku ekonomi. Festival musik bisa mengundang banyak orang dalam jumlah yang masif. Menurut Chris Gibson dan John Connel (2005), festival musik memiliki potensi ekonomi langsung. Hal ini disebabkan penonton festival musik akan mengeluarkan uang untuk transportasi, bensin, akomodasi, tiket, suvenir, makanan, minuman, hingga hotel.

Implikasinya, ketika terjadi guncangan pada acara festival musik akan berefek domino kepada sektor-sektor yang terlibat di dalamnya. Tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi lebih lanjut mengenai dampak COVID-19 ke sektor industri musik, khususnya melalui jalur festival musik. Selain itu, tulisan ini akan mencoba memberikan bagaimana gambaran acara festival musik ke depannya dan memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diambil oleh stakeholders terkait.

Festival Musik yang Hilang

Berikut gambaran bagaimana acara festival musik membawa efek lanjutan ke sektor-sektor lain. Kita ambil contoh pelaksaan acara festival musik Java Jazz Festival. Acara festival musik ini sanggup menampilkan 1.300 orang musisi, 21 panggung, dan menjual tiket sekitar 120 ribu lembar (Supermusic.id, 2019). Besarnya kebutuhan acara festival musik membawa efek lanjutan terhadap penyerapan tenaga kerja dan penyedia jasa untuk menyokong tergelarnya acara tersebut.

Lihat misalnya, para penampil/musisi yang menjadi bintang utama dan para manajer artis/seniman. Kemudian, ada jasa impresariat yang mencakup kegiatan pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan, berupa mendatangkan, mengirim, maupun mengembalikan, serta menentukan tempat, waktu, dan jenis hiburan. Lalu, jasa juru kamera, juru lampu, juru rias, penata musik, jasa sound system, termasuk juga agen penjualan karcis pertunjukan. Tidak lupa adanya vendor yang biasanya berjualan makanan-dan minuman di venue festival musik. Biasanya pelaku vendor ini merupakan sektor Usaha Mikro Kecil (UMK) yang sudah bekerja sama untuk berjualan di sekitar venue acara festival musik.

Tidak sampai di situ, festival musik juga membutuhkan jasa seorang koreografer dan penata tari, serta stylist. Hadir juga pihak keamanan, dan boleh jadi ada penampil yang melibatkan tim orkestra, seperti alat musik gesek (strings), alat musik tiup (woodwind & brass), dan alat perkusi, serta paduan suara. Selain dari penyerapan tenaga kerja untuk mengadakan kegiatan festival musik, para promotor biasanya akan mengundang pihak sponsor untuk mendanai pagelaran festival musik tersebut. Dari laporan EIG sekitar $1,34 miliar dihabiskan untuk mensponsori festival musik tahun 2014 di seluruh dunia. Artinya, pada tahun ini kemungkinan pihak promotor akan kehilangan potensi pendapatan dari sponsor.

Selain itu, dikutip dari Marketers (2017), adanya festival musik juga bisa menggerakkan perputaran uang dan ekonomi di wilayah sekitarnya. Untuk festival Djakarta Warehouse Project (DWP) dan We The Fest (WTF), rata-rata pengunjung menghabiskan uang sekitar Rp300.000 hingga Rp500.000 dalam satu hari. Untuk festival di luar Jakarta yang diselenggarakan di Gunung Bromo juga bisa menghidupkan potensi pariwisata yang ada di wilayah tersebut. Dibatalkannya kegiatan festival musik tentu akan mengakibatkan multiplier effect terhadap sektor-sektor yang mendukung terlaksananya festival musik.

Berdasarkan data Koalisi Seni Indonesia (KSI), terdapat 113 konser, tur, dan festival musik yang tertunda karena pandemi per bulan April 2020. Lebih lanjut, Dewan Industri Event Indonesia menyatakan, saat ini sekitar minimal 50.000 pekerja kreatif pada industri acara festival musik terancam kehilangan pekerjaan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut, dari 1.218 organizers di seluruh Indonesia, minimal potential loss yang didapat adalah sebesar Rp2,69 triliun dan maksimal Rp6,94 triliun. Di samping itu, para organizers juga mengalami potensial loss pada dana-dana (deposit) yang sudah terlanjur dibayarkan atau terlanjur diproduksi (Tribun Bali, 2020). Harus dihentikannya aktivitas berkumpul bersama membawa dampak yang tidak mudah untuk pelaku bisnis event musik. Dipastikan Indonesia akan mengalami kerugian yang cukup besar.

Kondisi ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa acara festival musik seperti di Amerika Serikat juga harus dibatalkan, seperti konser SXSW, Coachella, Pearl Jam, serta Madonna. Diprediksi, kerugian akibat pembatalan acara ini mencapai $26 miliar (Tirto.id, 2020). Selain itu, musisi seperti BTS, Avril Lavigne, Green Day, Mariah Carey, Slipknot, dan masih banyak lagi juga harus mengurungkan niatnya untuk melakukan tur musik. Forbes (2020) memprediksikan pembatalan ini berpotensi menyebabkan kerugian terhadap industri musik senilai $54 miliar dolar AS.

Masa Depan Festival Musik dan Apa yang Dapat Dilakukan?

Lantas, bagaimana masa depan festival musik di Indonesia? Mengutip Basri (2020), sebelum vaksin selesai, protokol kesehatan harus tetap dijalankan. Artinya, segala aktivitas tidak bisa dilakukan seperti kondisi normal sebelum pandemi. Implikasinya, ekonomi harus beroperasi di bawah 100 persen. Dengan kondisi ini, sektor-sektor perekonomian, khususnya industri kreatif yang membutuhkan pengumpulan masa, seperti festival musik, pemutaran film di bioskop, hingga sektor pariwisata tidak akan pulih dalam waktu dekat.

Oleh karena itu, para pelaku industri musik, khususnya para promotor acara festival musik maupun para musisi harus segera beradaptasi dengan model penyelenggaraan festival musik secara daring. Selain itu, para pelaku industri ini juga dapat mengambil contoh dari beberapa penerapan pengadaan festival musik di era “new normal”, seperti konsep drive-in. Ada beberapa musisi yang sukses gelar konser drive-in. Lihat misalnya, Mads Langer. Mads Langer berhasil mengadakan konser dengan konsep drive-in pertamanya pada 27 Mei 2020 di Lapangan Copenhagen, Denmark. Selain itu, ada juga Disk Jockey (DJ) D-Nice yang berhasil menyelenggarakan konser drive-in di Hallandale Beach, Florida. Lalu, ada juga konser musik drive-in bertajuk Stage X yang diselenggarakan di Hyundai Motorstudio, Korea Selatan.

Konsep ini juga dapat dilakukan di Indonesia. Caranya dengan memilih venue yang cukup luas untuk menampung para penonton yang datang menggunakan mobil. Kemudian, di tengah pandemi seperti ini, terkait behavior, masyarakat pasti takut untuk berdesakan. Oleh karena itu, pelaksanaan festival musik secara drive-in dapat menjadi alternatif bagi para penikmat musik dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Pun, pelaksanaan konsep drive-in tidak jauh berbeda dengan konsep festival musik secara konvensional. Hanya saja dari segi penonton pasti akan berkurang cukup signifikan. Namun, lebih baik ada tetapi sedikit, daripada tidak sama sekali. Dengan demikian, efek pengganda festival musik akan tetap jalan. Pelaku-pelaku yang sudah dijelaskan di atas akan merasakan trickle-down effect dari pelaksanaan festival musik secara drive-in.

Selain itu, para musisi juga dapat menggunakan konsep online concert dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi saat ini. Misalnya, melalui festival musik yang dibuat lebih privat antara musisi dan fansnya dengan memanfaatkan aplikasi Online Meeting. Memang ada beberapa value added dari acara festival yang hilang. Namun, para musisi dapat mengkompensasinya dengan value added lainnya yang tidak didapatkan selama pelaksanaan secara langsung. Misalnya dengan membuka sesi percakapan langsung antara fans dengan musisi. Dengan demikian, para konsumen/penonton pun akan menjadi lebih tertarik untuk mengikuti online concert karena ada value added baru yang ditawarkan.

Dari sisi pemerintah, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga dapat membantu para pelaku industri hiburan. Misalnya dengan aktif berkolaborasi dengan public figure, seniman, serta menggelar event yang diselingi kampanye positif dan memberi semangat menerapkan protokol kesehatan. Pemerintah Indonesia juga dapat mencontoh bagaimana dukungan dapat diberikan untuk pelaku industri hiburan. Lihat misalnya, Pemerintah Britania Raya telah mengungkapkan paket bantuan darurat senilai £1,57 miliar (Rp28 trilun) untuk sektor industri hiburan. Dana tersebut akan didistribusikan ke berbagai venue musik, teater, galeri, bioskop independen, museum, serta situs-situs warisan dalam bentuk pinjaman dan hibah.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, festival musik memiliki dampak yang besar bagi perekonomian melalui efek penggandanya. Apabila sektor ini terganggu, maka sektor-sektor yang terlibatnya juga akan terganggu. Oleh karena itu, diperlukan beberapa langkah mitigasi yang dapat dilakukan oleh pelaku bisnis dan juga pemerintah pada masa pandemi. Dengan proses adaptasi ini, kejayaan festival musik yang sempat redup dapat beradaptasi dengan kondisi saat ini dan kembali hidup, seperti penggalan lagu band indie, Hindia:

Semua yang sirna ‘kan kembali lagi
Semua yang sirna ‘kan nanti berganti

 

  1. Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar