Pemilihan Umum masih tiga tahun lagi, namun wajah para politisi yang diprediksi akan maju di pemilihan presiden mendatang sudah banyak terpampang di jalan-jalan. Sebut saja anak dari Presiden Kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, yaitu Puan Maharani. Dalam billboard ataupun baliho, terpampang jelas wajah dari Puan Maharani dengan tulisan “Kepak Sayap Kebhinnekaan”.
Tidak hanya Puan Maharani dari PDIP, ada pula wajah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto yang banyak dijumpai di sudut-sudut strategis Kota dan Kabupaten. Dalam billboard dan baliho tersebut, terlihat wajah dari Menteri Koordinator Bidang Ekonomi tersebut dengan tulisan “Kerja Untuk Indonesia”.
Selain itu, ada pula billboard ataupun baliho dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, yang banyak dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berbeda dengan sebelumnya, Muhaimin kini lebih memilih untuk menggunakan nama “Gus Muhaimin”. Bahkan tak tanggung-tanggung, dalam billboard dan baliho tertulis angka 2024 yang mengisyaratkan bahwa Muhaimin siap untuk maju di Pemilu Presiden tahun 2024
Gambar besar politisi lain pun banyak dijumpai, seperti Baliho dan billboard Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, serta Surya Paloh yang merupakan Ketua Umum Partai Nasdem. Pada intinya, para politisi yang terpampang tersebut terindikasi dengan kepentingan politik Pemilu 2024, baik legislatif maupun pemilihan presiden.
Dihujam Kritikan
Bukannya mendapat apresiasi dari masyarakat, terpampangnya wajah para politisi ini di jalan-jalan justru menuai kritikan. Misalnya Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, mengatakan bahwa langkah para politisi memoles citra merefleksikan prioritas mereka, yaitu lebih mengutamakan kepentingan politik dibandingkan dengan persoalan kebangsaan dan kemanusiaan. Selain itu, Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan bahwa anggaran yang dipakai untuk memasang billboard dan baliho sebaiknya diberikan kepada masyarakat yang terkena pandemi COVID-19 (Koran Tempo, 10/08/2021).
Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Toha juga mengkritik baliho sejumlah petinggi partai politik di ruang publik. Menurutnya, tidak tepat bila baliho dan billboard tersebut ditampilkan di saat krisis pandemi COVID-19 (Merdeka.com, 06/08/2021). Ia pun menyentil Ketua DPP PDIP Puan Maharani, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, hingga Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dalam cuitannya di twitter @AT_AbdillahToha “Halo Puan, Airlangga, Muhaimin, AHY, apa tidak risih dan malu memajang gambar diri besar-besar di sekujur Indonesia bersaing utk Pilpres yang masih 3 tahun lagi”.
Demi Mendongkrak Popularitas
Berdasarkan analisis dari Drone Emprit, sebuah platform pemantau percakapan di media sosial, pemasangan baliho dan billboard sejumlah politisi ini secara tidak langsung berimbas pada popularitas mereka di jagat maya. Sebagai contoh, saat foto Puan Maharani mengudara di sosial media, popularitas Puan meningkat dalam satu bulan terakhir, walaupun didominasi oleh sentimen negatif. Lebih lanjut, pada 8 Juli 2021, jumlah perbincangan tentang Puan di media sosial berada di bawah 2.500 mention. Namun, pada 7 Agusuts 2021, perbincangan yang menyebut Puan meningkat hingga 5.000 mention (Koran Tempo, 10/08/2021).
Berdasarkan tren satu bulan terakhir, Drone Emprit mencatatkan tokoh dengan tren popularitas tertinggi ialah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan diposisi kedua adalah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, lalu diikuti oleh Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, dan di peringkat ke empat yaitu Puan Maharani. Dilihat dari share of voice pada periode yang sama, perbincangan tentang Anies Baswedan mencapai 49 persen, lalu Ganjar Pranowo 27 persen, Ridwan Kamil 13 persen, dan Puan 12 persen (Koran Tempo, 10/08/2021).
Data yang dipaparkan oleh Drone Emprit selaras dengan data yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga survei. Jika dirangkum, nama-nama seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, ataupun Ganjar Pranowo memang masuk dalam 10 calon presiden terkuat saat ini. Selain itu, ada pula nama-nama seperti Puan Maharani, Prabowo Subianto, Sandiaga S. Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, hingga Airlangga Hartanto.
Yang menjadi catatan adalah perlu kembali dilihat apakah popularitas tersebut lebih memiliki sentimen negatif atau sentimen positif. Sebab, popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas. Bisa jadi, politisi tersebut populer namun elektabilitasnya rendah, karena popularitasnya lebih didominasi oleh sentimen negatif.
Sebenarnya, cara-cara untuk mendongkrak popularitas serta elektabilitas dengan menggunakan baliho dan billboard adalah cara yang lumrah di Indonesia. Namun, waktu pemasangannya dirasa tidak tepat karena beberapa alasan. Pertama, karena pemilu masih cukup lama yaitu tiga tahun lagi. Kedua, pencitraan tersebut dilakukan di saat masyarakat Indonesia sedang mengalami kesusahan akibat dampak dari pandemi COVID-19. Ketiga, kampanye politik seharusnya dilakukan dengan cara yang lebih empatik dan mendidik.
Selain itu, cara yang paling tepat saat ini untuk membentuk citra dari para politisi adalah dengan melakukan pendekatan langsung kepada masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Misalnya, daripada politisi tersebut menghabiskan biaya untuk memasang billboard dan baliho, lebih baik politisi tersebut menggunakan sumber dayanya untuk turun langsung dan memberikan bantuan kepada masyarakat. Hal ini dinilai lebih efektif untuk mendongkrak popularitas dan memberikan efek sentimen positif. Seperti kata Donald P. Green dan Alan S. Gerber (2008) dalam bukunya “Get Out The Vote: How to Increase Voter Turn Out”, bahwa kampanye tatap muka masih menjadi cara yang paling efektif dalam meningkatkan popularitas serta elektabilitis. Menurut Green & Gerber, dari 14 orang yang ditemui oleh politisi saat berkampanye, setidaknya 1 orang diantaranya akan menjadi pemilih politisi tersebut.
Ahmad Hidayah – Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute ahmad@theindonesianinstitute.com