Di Bali, pada 24-27 Maret mendatang, sebanyak 27 perwakilan negara di dunia akan berkumpul dalam pertemuan panel tingkat tinggi atau yang secara resmi disebut High Level Panel of Eminent Persons (HLPEP) on Post 2015 Development Agenda atau yang sering juga disingkat menjadi Bali Forum 2013.
Kegiatan ini menjadi puncak dari serangkaian kegiatan sebelumnya secara global, regional, atau pun konsultasi-konsultasi nasional di masing-masing negara yang membicarakan dan merumuskan target-target realistis untuk pembangunan paska 2015.
Ada beberapa catatan yang sepertinya, perlu dan penting dikemukakan terkait agenda global ini. Pertama, meskipun kegiatan ini akan berpegang pada waktu setelah 2015, ada agenda yang perlu dibicarakan juga di HLPEP ini, yaitu mengenai MDGs yang batas waktu pelaksanaannya adalah di tahun 2015. Perlu menarik pembelajaran dari pelaksanaan MDGs selama ini dari semua negara. Tentu bukan satu per satu negara, namun terhadap hal-hal yang menjadi masalah bersama di semua negara (cross cutting issues), misalnya terkait kemiskinan, gender, kesehatan atau pendidikan.
Pembicaraan mengenai agenda pembangunan paska 2015 hendaklah berdasarkan pada hal di atas agar adakesinambungan antara agenda-agenda tersebut. Terlebih agar agenda-agenda ini kemudian bukan dilihat sekedar “proyek global baru”, tapi benar-benar fokus dan mencapai target-target yang sudah dirumuskan matang.
Kedua, perlunya perspektif yang holistik. Delapan target MDGs, di satu sisi memang membuat kerja-kerja terkait target tersebut menjadi fokus, tapi di sisi lain membuat kerja-kerja tersebut seolah-olah terpisah dari target yang lain dan terkesan sektoral.
Untuk itu, perumusan target atau rencana pembangunan paska 2015 nanti perlu juga menetapkan perspektif-perspektif yang dimasukkan ke dalam target-target tersebut. Beberapa perspektif yang pada forum-forum sebelumnya, seperti forum Rio+20 tahun 2012 lalu atau dalam konteks Indonesia, forum konsultasi nasional tentang Agenda Pembangunan Paska 2015 Pebruari lalu bisa dipergunakan. Beberapa perspektif itu adalah lingkungan, gender, anak-anak, indigenous peoples, kemiskinan dan perspektif-perspektif terkait kelompok marjinal lainnya.
Ketiga, terkait tujuan. Tujuan dari semua agenda global langsung atau pun tidak langsung adalah untuk mengurangi kemiskinan di dunia. Tujuan ini tentu masih relevan diadopsi pada Agenda Pembangunan Paska 2015 nanti. Catatannya adalah bagaimana indikator-indikator pengurangan kemiskinan yang dipakai atau yang diacu atau yang akan digunakan nanti bukan hanya berdasarkan perhitungan ekonomi.
Pembangunan manusia seutuhnya sebenarnya secara tidak langsung bisa menjauhkan kemiskinan, sehingga kemudian ada istilah human security. Beberapa konsep terkait human security adalah (UKP4, 2013): fokus pada masyarakat terutama yang paling rentan; memberikan perlindungan sekaligus pemberdayaan; pengembangan potensi-potensi; pendekatan yang holistik dan mensyaratkan partisipasi dari semua pihak terkait.
Keempat, terkait pemerintah sebagai subjek yang akan melakukan dan menjamin pelaksanaan semua agenda-agenda pembangunan Paska 2015 ini nantinya, maka akuntabilitas dari pemerintah sendiri harus benar-benar diperhatikan.
Akuntabilitas bukan hanya terlihat dari program-program yang ditujukan untuk masyarakat, tapi juga bagaimana pemerintah menciptakan sistem agar masyarakat bisa mengukur akuntabilitas tersebut. Untuk itu, perlu dipersiapkan mekanisme partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi pencapaian target-target agenda pembangunan paska 2015 ini nantinya.
Akhirnya, pemerintah harus dapat menerjemahkan kebutuhan di dalam negeri ke dalam target-target pembangunan paska 2015 yang juga tidak bertentangan dengan konteks global. Artinya, ada keseimbangan antara konteks global dengan kebutuhan dalam negeri dan mempercepat pencapaian agenda-agenda pembangunan dalam tataran global maupun domestik.
Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com