JAKARTA – Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu bersikukuh menggelar pilkada serentak 9 Desember mendatang meski telah mendapat banyak masukan penundaan dari berbagai kalangan. Pada saat Covid-19 yang belum terkendali, gelaran pilkada sejatinya menyimpan bahaya besar.
Dari hari ke hari, virus corona terbukti makin mudah menjangkiti masyarakat. Regulasi dan berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah sebagai langkah antisipasi, nyatanya tidak banyak berfungsi di lapangan. Di tengah keterbatasan itu, menunda pilkada sampai benar-benar kondisi yang aman adalah sebuah keniscayaan. Keselamatan jiwa bersama patut menjadi pertimbangan di atas segalanya.
Desakan untuk menunda pilkada hari-hari ini juga semakin menguat. Dua ormas besar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sudah tegas meminta pemerintah, DPR, dan penyelenggara untuk menunda pilkada. Namun, kemarin Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) satu suara untuk melanjutkan tahapan pilkada.
Selain tidak tahu sampai kapan pandemi ini akan berakhir, penundaan pilkada dinilai akan banyak menimbulkan kekosongan kepemimpinan. Agar bisa tetap digelar, kegiatan-kegiatan yang rawan memicu potensi tersebarnya Covid-19 sangat dibatasi.
Meski segala skenario itu telah disiapkan, peneliti bidang politik The Indonesian Institute (TII) Rifqi Rachman menyatakan opsi menunda pilkada 2020 harus terus digaungkan. “Ini bukan semata pelaksanaan hak konstitusional warga untuk memilih saja. Lebih dari itu, keselamatan warga negara haruslah menjadi yang utama,” ujar dia kemarin.
Jika penundaan bisa dilakukan, menurut dia, maka ada dua hal penting yang harus diberi perhatian penuh oleh penyelenggara pemilu. Pertama, dalam menyusun jadwal pelaksanaan pilkada, KPU sebaiknya melakukan kalkulasi secara terbalik. Maksudnya, penentuan pelaksanaan pilkada tidak dimulai dari menentukan tanggal pemungutan suara terlebih dahulu seperti yang dilakukan saat memutuskan 9 Desember sebagai hari pemungutan suara. KPU bisa memulai dari menentukan tanggal bagi tahapan terdekat yang akan dilaksanakan.
Kedua, untuk bisa bergerak lebih progresif terhadap kondisi pandemi, KPU dan elemen masyarakat yang peduli pada pemilihan umum bisa mendorong revisi pada UU Pilkada. Hal ini ditujukan agar KPU bisa lebih leluasa dalam memformulasikan Peraturan KPU (PKPU) dan tidak merasa takut aturan yang dibuatnya bertentangan dengan UU. “Sehingga dalam bersengketa, misalnya oleh peserta pilkada, celah-celah PKPU yang dianggap bertentangan dengan UU dapat tertutup rapat,” terangnya.
Terlepas dari soal regulasi tersebut, fakta di lapangan menunjukkan tidak mudah mengendalikan masyarakat. Saat pendaftaran calon awal September misalnya, arak-arakan atau kerumunan massa tidak terhindarkan. Bahkan per 10 September atau beberapa hari seusai pendaftaran, tercatat 60 kepala daerah positif Covid. Kerumunan sangat mungkin terulang saat masa kampanye atau perayaan kemenangan.
Pengamat politik Idil Akbar mengatakan pelaksanaan pilkada yang tetap dilanjutkan ini sebuah masalah dilematis karena ada kebutuhan dalam bernegara. Di satu sisi, penanganan masalah kesehatan akibat pagebluk Covid-19 juga tidak bisa dianggap sepele. ”Pemerintah (pusat) yang bisa menentukan strategi apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan pilkada dan Covid-19 agar bisa jalan bersama,” jelasnya.
Dosen Universitas Padjadjaran (Unpad) itu menerangkan bahwa pemerintah harus berani menurunkan aparat keamanan untuk menindak para pelanggar protokol kesehatan dalam pilkada. Apalagi, kemarin Kapolri Jenderal Idham Azis telah mengeluarkan maklumat tentang kepatuhan terhadap protokol kesehatan dalam pilkada.
Idil juga meminta KPU untuk menghilangkan ketentuan yang memperbolehkan konser musik, meski penyelenggara beralasan hal tersebut diatur dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada. Izin konser musik dengan peserta 100 orang ini menuai kritik banyak pihak. “Kampanye yang mendatangkan massa dianulir, enggak usah dilakukan. Tidak ada masalah pelanggaran UU karena ada prinsip kedaruratan,” tegasnya.
Penundaan Jadi Solusi
Di berbagai negara, penundaan pemilu menjadi alternatif solusi saat pandemi corona. Hal itu dilakukan karena pemerintah tidak ingin menjadikan pemilu justru ajang untuk penularan virus corona. Dalam catatan International Foundation for Electoral System (IFES), sedikitnya ada 111 pemilu berskala nasional dan lokal yang ditunda di 65 negara dan delapan teritorial. Penundaan tersebut berkaitan dengan pandemi corona yang masih mewabah dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Direktur IFES Erica Shein merekomendasikan kepada pemegang kebijakan untuk berkomunikasi dan berkoordinasi dengan semua pihak mengenai perubahan atau ketetapan jadwal pemilu. “Perlunya tanggal baru untuk penundaan pemilu,” katanya. Dia juga menyarankan perlunya mempertimbangkan biaya, kapasitas, dan organisasi yang mengatur pemilu.
Selandia Baru merupakan salah satu negara yang memilih menunda pelaksanaan pemilu selama satu bulan. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern memutuskan menunda pemilu negara tersebut, setelah ada peningkatan kasus infeksi Covid-19. Pemilu Selandia Baru ditunda selama satu bulan dan akan digelar 17 Oktober mendatang dari jadwal sebelumnya pada 19 September.
Dia mengabaikan penundaan pemungutan suara lebih jauh, karena Partai Buruh yang dipimpinnya mempertahankan keunggulan kuat atas Partai Nasional yang konservatif dalam jajak pendapat. “Kita semua satu perahu. Kita semua berkampanye di lingkungan yang sama,” ungkapnya, dilansir Reuters.
Selain Selandia Baru, negara yang memilih menunda pemilu nasional saat pandemi adalah Bangladesh dan Papua Nugini. Mayoritas pemerintah di berbagai negara memilih penundaan pemilu lokal skala gubernur dan wali kota, seperti Tunisia, Inggris, Swiss, Rumania.
Namun demikian, dalam kajian Council on Foreign Relatin (CFR), juga disebutkan bahwa banyak negara lain seperti Burundi, Prancis, dan Korea Selatan (Korsel) memilih untuk terus menggelar pemilu. “Korsel dipuji banyak pihak karena melaksanakan pemilu dengan baik dengan segala persiapan dan pencegahan penularan terbaik,” kata Lindsay Maizland, peneliti CFR. Hal berbeda dengan Belarusia yang juga tetap melaksanakan pemilu, tetapi justru kasus corona di negara tersebut mengalami peningkatan.
Penyelenggara Diminta Jawab Keraguan
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyatakan, dalam rapat kerja kemarin, sejumlah anggota dan pimpinan Komisi II DPR berpandangan bahwa penyelenggara pemilu harus mampu menjawab tantangan publik di tengah desakan untuk memundurkan tahapan pilkada. “Ini sama komitmennya dengan kita sama-sama ingin menjaga keselamatan masyarakat. Tadi sudah disampaikan bahwa tetap 9 Desember, kita harus mampu menjawab keraguan di publik terkait pilkada ini yang dikhawatirkan akan memperparah kondisi Covid-19,” timpal Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa.
Untuk itu, sambung Sekretaris Fraksi Partai Nasdem DPR ini, Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP diminta mulai membuat sebuah aturan dan tidak lagi hanya berwacana. Pasalnya, dia melihat masih adanya keraguan KPU saat ingin melakukan perbaikan PKPU, yakni pertimbangan pengaturan di UU Pilkada Nomor 10/2016 atau Perppu Pilkada.
Untuk keselamatan Pilkada 2020 ini, Saan menambahkan bahwa ini menjadi semangat bersama untuk menjaga keselamatan masyarakat. Dan pilihannya hanya dua, revisi PKPU atau membuat perppu. Yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah revisi PKPU 10/2020. Di dalamnya, harus tegas melarang bentuk-bentuk kampanye yang berpotensi mengundang massa dalam jumlah besar, dan potensial melanggar protokol Covid-19.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman juga mengatakan bahwa pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 tetap dilaksanakan sesuai jadwal, yakni 9 Desember. Dia mengatakan penyelenggaraan tetap dilaksanakan demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih. (Faorick Pakpahan/F.W. Bahtiar/Dita Angga/Andika H Mustaqim/Kiswondari)
https://nasional.sindonews.com/read/172120/12/bahaya-pilkada-1600726143