Apa Kabar Kemandirian Industri Pertahanan?

arfiantoHampir genap satu tahun Undang-Undang (UU) No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Inhan) disahkan. UU Inhan seakan menjadi angin segar bagi bangkitnya industri pertahanan Indonesia, yang telah mati suri sejak krisis ekonomi 1998.

Penguatan industri pertahanan dilakukan, pertama, untuk terpenuhinya kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI, guna tercapainya minimum essential force (MEF) pada tahun 2024. Kedua, tercapainya kemandirian dalam pengadaan alutsista di tahun 2029.

Namun saat ini pengadaan alutsista dalam rangka memenuhi MEF, sebagian besar masih sangat tergantung dari impor luar negeri. Kondisi ini diakibatkan masih belum optimalnya peran dari industri pertahanan dalam negeri.

Persoalan belum dapat optimalnya industri pertahanan diakibatkan karena pertama, keterbatasan anggaran BUMN Industri Pertahanan. Di tahun 2012 baru tiga BUMN, yaitu PT Dirgantara Indonesia (DI), PT Pindad, dan PT PAL  yang mendapatkan  total dana Rp 1,9 triliun untuk melakukan restrukturisasi finansial, perbaikan produksi, dan pembenahan manajemen. Hal ini dirasakan masih sangat terbatas mengingat kebutuhan produksi dan pengembangan teknologi.

Anggaran merupakan unsur mutlak dalam menunjang pembangunan terutama pada industri yang terkait  dengan pertahanan. BUMN Industri pertahanan saat ini masih ketergantungan terhadap modal yang digelontorkan pemerintah dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PNM).

Kedua, masih terbatasnya penguasaan teknologi industri pertahanan. Maju dan berkembangnya industri pertahanan harus diiringi dengan penguasaan teknologi yang modern. Perkembangan alutsista yang dikembangkan oleh negara maju seperti Amerika Serikat  (AS) telah memiliki senjata dengan daya hancur dan daya lacak yang akurat.

Pengembangan alutsista seperti itu dihasilkan dari perpaduan dan penerapan berbagai teknologi yang terkait seperti telekomunikasi, elektronika, kimia, balistik, metalurgi dan komputer. Penguasaan teknologi yang sangat terbatas akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan dan inovasi khususnya dalam rangka meningkatkan kemampuan alutsista.
Di sisi yang lain, kesenjangan kemampuan teknologi alutsista antara Indonesia dengan negara maju mendesak Indonesia untuk melakukan alih teknologi dari negara maju. Namun, tidak semua negara maupun perusahaan produsen alutsista bersedia melakukan transfer teknologi secara penuh. Hal ini menyebabkan sulitnya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap negara maju. Misalnya terkait permasalahan lisensi kepemilikan teknologi alutsista, pemeliharaan suku cadang, pelatihan SDM.

Ketiga, belum adanya sinkronisasi kebijakan yang mempercepat kebangkitan industri pertahanan. Pengamat militer Universitas Indonesia, Andi Widjajanto mengatakan walau sudah ada UU Innhan, masih terdapat sekitar 30 aturan pelaksana yang terangkum dalam empat peraturan pemerintah yang belum selesai. Kondisi ini terlihat dengan masih adanya kendala perijinan maupun bea masuk bahan baku bagi produksi industri pertahanan. Dan keempat, belum adanya jaminan pasar bagi produk industri pertahanan baik dari dalam maupun luar negeri.

Industri pertahanan merupakan potensi nasional yang sudah seharusnya ditopang oleh sumber daya nasional, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.   Untuk itu, membangun kemandirian industri pertahanan dapat dilakukan melalui pertama, dukungan kebijakan yang dapat membina dan mengembangkan industri pertahanan.

Kedua, pemenuhan anggaran yang menunjang kebutuhan pengembangan industri pertahanan. Ketiga, peningkatan kemampuan teknologi. Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai penggerak utama pengembangan industri pertahanan. Dan kelima, peningkatan kualitas produk industri strategis dengan harga yang dapat bersaing dalam pertumbuhan pasar.

Oleh karena itu, peran strategis industri pertahanan perlu dioptimalkan, terutama yang berkaitan langsung dengan pemenuhan pertahanan nasional dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.

Arfianto Purbolaksono – Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar