Analisa Pakar: Jokowi Jengkel, Menteri Minim Pemahaman, Birokrat Gagap

Merdeka.com – Negara tengah menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) melihat para menteri masih bekerja biasa-biasa saja.

Dia pun mengancam akan membubarkan lembaga negara dan melakukan reshuffle kabinet. Jokowi bertaruh reputasi politiknya demi 267 juta rakyat Indonesia.

Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono memotret kekesalan Jokowi dari sisi birokrasi pemerintah. Menteri tak juga salah bekerja lambat.

Birokrasi menjadi salah satu kendala, menurut Arfianto. Ditambah pemahaman menteri yang masih minim soal pejabat birokrat di bawahnya. Begitu juga birokrat yang khawatir mengambil kebijakan.

“Seharusnya pesan ini ditujukan bukan hanya kepada para menteri sebagai pembantu Presiden, tetapi juga kepada perangkat birokrasi di level pelaksana kebijakan,” ucap Arfianto, Senin (29/6).

Dia menuturkan, para menteri harus dapat mengendalikan dan mengontrol birokrasi, sehingga dapat bekerja sesuai dengan target-target yang telah ditetapkan.

Arfianto juga melihat, kegagalan implementasi kebijakan dapat terjadi jika tidak adanya tujuan yang sama antara menteri sebagai pejabat politik dengan para pejabat birokrasi di kementeriannya.

“Celakanya lagi, jika menteri tersebut minim pemahaman mengenai mekanisme prosedural atau substansi kebijakan, seperti yang dimiliki oleh para birokratnya, sehingga mempersulit kontrol mereka atas birokrasi,” ungkap Arfianto.

Hal ini semakin buruk, tambah dia, terutama ketika pemerintah menghadapi situasi krisis, seperti pandemi Covid-19. Karena kinerja pemerintah dan aparat birokrasi belum optimal dalam bertindak dalam menangani wabah ini.

Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 13 disebutkan jabatan birokrasi dibagi tiga, yakni jabatan administrasi, jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi.

Ketiga kelompok jabatan ini berkorelasi dengan tanggung jawab mereka sebagai pelaksana kebijakan. Dengan demikian, apa yang disampaikan Presiden Jokowi tentang sense of crisis juga diharapkan dan seyogyanya muncul dari mereka.

Selain itu, dia menjelaskan, masalah yang kerap kali menghambat kecepatan kerja birokrasi adalah dilema antara tekanan untuk kerja cepat dan ketaatan terhadap prosedur, serta ketepatan dalam mencapai target sasaran kebijakan.

“Di satu sisi, aparat birokrasi ketakutan melanggar prosedur dalam menjalankan tugasnya. Tetapi di sisi lain, acap kali prosedur dijadikan alasan untuk tidak dapat bergerak cepat. Hal ini pula yang membuat pemerintah dan birokrasi terlihat gagap, bingung, dan tidak sigap dalam mengatasi situasi krisis,” jelas Arfianto.

Menurut dia, di sinilah seharusnya tugas dan tanggung jawab menteri untuk melaksanakan arahan Presiden Jokowi dengan mendorong kerja-kerja birokrasi agar lebih sigap dan peka, dengan mengeluarkan panduan atau prosedur dalam bentuk Peraturan Menteri.

“Untuk itu, pengawasan dan evaluasi yang ketat menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan diterapkan secara efektif oleh pemerintah dan segenap aparat birokrasinya dengan solid, tanggap, sigap dan tepat,” pungkasnya.

Kemarahan Jokowi

Sebelumnya, pernyataan Presiden Jokowi yang berniat melakukan reshuffle disampaikan dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis 18 Juni 2020. Dia berbicara dengan nada tinggi.

“Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya,” ujar Jokowi dalam video dari Sekretariat Presiden, Minggu (28/6).

Jokowi menegaskan bahwa saat ini perlu langkah-langkah extraordinary atau luar biasa dalam menghadapi pandemi virus corona (Covid-19) yang telah berjalan selama tiga bulan. Terlebih, para menteri dan pimpinan lembaga bertanggung jawab terhadap kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.

“Ini tolong digaris bawahi dan perasaan itu tolong kita sama. Ada sense of crisis yang sama,” tegas dia.

Jokowi mengungkapkan bahwa Organization of Economic Co-Operation Development (OECD) menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi minus 6-7-6 persen. Bank Dunia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi mengalami minus 5 persen.

Untuk itu, Jokowi meminta para menterinya lebih bekerja keras menghadapi krisis tersebut. Menurut dia, saat ini bukan lagi situasi normal yang hanya bekerja seperti biasa.

“Kita harus ngerti ini. Jangan biasa-biasa saja, jangan linear, jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali kita. Saya lihat masih banyak kita yang menganggap ini normal,” jelas Jokowi.

Dia pun mempersilahkan para menterinya apabila ingin membuat kebijakan demi menyelamatkan negara dan masyarakat Indonesia dari krisis. Misalnya, menerbitkan peraturan presiden (perpres) ataupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

“Entah buat perppu yang lebih penting lagi. Kalau memang diperlukan. Karena memang suasana ini harus ada,” kata dia.

https://www.merdeka.com/politik/analisa-pakar-jokowi-jengkel-menteri-minim-pemahaman-birokrat-gagap.html

Komentar