Alih Fungsi Lahan Pertanian

lola-amelia

Lola Amelia

Setiap tanggal 24 September Indonesia memperingati Hari Tani Nasional. Berdasarkan sejarahnya, tanggal 24 September 1960 UU Pokok Agraria dibuat. Itulah babak baru tentang pentingnya peran dan posisi petani dan tanggal itu kini diperingati sebagai Hari Tani Nasional.

Banyak persoalan yang masih menjadi catatan di sektor pertanian di Indonesia. Mulai dari jumlah petani yang semakin menurun, impor berbagai bahan pangan hingga alih fungsi lahan pertanian yang semakin massif.

Terkait alih fungsi lahan, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, berpotensi mematikan usaha pertanian kecil masyarakat. Hal ini karena di dalam Peraturan Presiden tersebut dinyatakan bahwa sektor pertanan adalah salah satu bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan untuk penanaman modal.

Meskipun ada beberapa persyaratan namun nuansa liberalisasi sektor pertanian sangat terasa, karena dalam pertimbangan Peraturan Presiden tersebut dinyatakan bahwa hadirnya kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kegiatan penanaman modal di Indonesia dan dalam rangka pelaksanaan komitmen Indonesia dalam kaitannya dengan Association of Southeast Asian Nations/ ASEAN Economic Community (AEC).

Jamak diketahui, ketika dipegangnya sektor pertanian oleh pemodal besar, maka diperlukan lahan pertanian yang luas. Lahan pertanian luas hanya bisa didapatkan dengan membeli lahan-lahan pertanian petani kecil yang tersebar. Proses yang disebut ‘ membeli’ ini sering diyakini tidak setara dan tidak adil serta kental unsur pemaksaannya. Selain untuk dijadikan sebagai lahan pertanian modern dengan kebutuhan lahan luas, lahan-lahan pertanian para petani juga ‘diambil’ untuk dijadikan perkebunan atau pun lahan pertambangan.

Petani-petani berlahan kecil, dipaksa menjual tanah mereka dengan dalih bahwa lahan-lahan pertanian mereka dibutuhkan untuk pembangunan ( berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum). Proses-proses inilah yang kemudian melahirkan banyak konflik agraria.

Data yang dihimpun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang 2013, terdapat 369 kasus konflik agraria dimana kaum tani mempertahankan tanah yang dirampas oleh pemilik modal. Sedangkan sepanjang SBY berkuasa (2004-2013), jumlah konflik sebanyak 987 kasus dengan luas wilayah konflik 3.680.974,58 ha, dimana perkebunan merupakan sektor tertinggi potensi konflik setelah infrastruktur, pertambangan, kehutanan dan kelautan.

Petani yang menjadi korban dari konflik di tahun 2013 tersebut tidak tanggung-tanggung: 21 orang tewas, 30 orang tertembak, 130 orang dianiaya, dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan.

Terlihat dari paparan di atas, bagaimana dari aspek kebijakan, pemihakan terhadap petani kecil juga tak terlihat. Bahkan cenderung mengebiri hak-hak petani.

Momentum pertukaran tampuk pemerintahan negara kita perlu dimanfaatkan betul. Pemerintahan baru nantinya, dalam hal ini Jokowi-JK perlu mengevaluasi semua kebijakan yang terkait sektor pertanian. Perlu dilihat dan dipilah mana peraturan yang memang pro petani, dalam artian mempunyai visi memberdayakan petani dan bukan semata-mata mengharap profit dari pengelolaan lahan pertanian.

Khusus terkait alih fungsi lahan, konflik-konflik agraria yang baru maupun yang sudah lama, mesti diselesaikan. Terkait ini hendaknya juga menjadi prioritas di masa-masa awal pemerintahan Jokowi-JK sebagai bukti komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria di Indonesia.

Penulis: Lola Amelia, ameliaislola@gmail.com

Komentar