Pendidikan merupakan fondasi kehidupan. Pendidikan yang bermutu akan turut mendorong kualitas hidup seseorang. Telah sejak lama Pemerintah Pusat mengusung wajib belajar yang kini bertambah menjadi 12 tahun demi mendongkrak pemerataan pendidikan dan kualitasnya. Namun, belum meratanya fasilitas dan pemanfaatan teknologi dalam hal ini komputer dan aksesnya, termasuk Sumber Daya Manusia (SDM) pendidik yang berkualitas, membuat kesenjangan terus terjadi.
Berbagai upaya dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mendongkrak pemerataan pendidikan dan kualitasnya hingga ke pelosok perdesaan. Misalnya, lewat program Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T), walaupun dalam praktiknya program ini masih perlu perbaikan secara berkelanjutan. Pada dasarnya berbagai program Kemendikbud dan program Pemerintah Pusat lain yang berorientasi pada SDM juga diupayakan karena tahun ini hingga puncaknya pada tahun 2030, Indonesia mendapatkan bonus demografi.
Bonus demografi terjadi ketika mayoritas populasi suatu negara berada di golongan umur produktif. Implikasinya, jika produktivitas kaum muda meningkat, maka juga akan berdampak besar bagi peningkatan daya saing Indonesia secara global. Namun, tanpa kesiapan SDM, bonus ini justru bisa menjadi beban. Persiapan Indonesia untuk menyambut bonus demografi di tengah COVID-19 ini pun juga makin dipertanyakan.
Sektor pendidikan menjadi salah satu sektor yang terdampak karena sejumlah kebijakan dalam memutus rantai COVID-19. Ketika masyarakat perkotaan lebih mudah menggunakan sistem daring, sayangnya, masyarakat perdesaan memiliki akses yang sangat terbatas. Penggunaan smartphone pun tidak menjamin efektivitas belajar via daring.
Berdasarkan blogs.worldbank.org (2020), Bank Dunia melakukan survei di 270 sekolah dasar di desa terpencil di Indonesia antara tahun 2016-2017. Survei itu dilatarbelakangi karena kualitas layanan pendidikan dan hasil belajar peserta didik masih rendah. Sejumlah poin survei diantaranya, pertama, perlunya renovasi fasilitas sekolah dan perumahan untuk guru sehingga dapat memperbaiki kondisi kerja guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil. Kedua, kualitas layanan pendidikan di sekolah survei terkendala oleh kualifikasi guru, komposisi guru, dan tuntutan mengajar multi kelas.
Apalagi di tengah pandemi COVID-19 ini, situasi dan kondisi sektor pendidikan pun semakin mengalami penurunan yang signifikan dalam hal kegiatan belajar mengajar (KBM). Sejumlah sekolah di kepulauan Sumenep, Jawa Timur, yang terhambat internet, melaksanakan pembelajaran via Short Message Service atau SMS (Medcom.id, 18/04). Tak bisa ditampik, sederet kondisi dan permasalahan juga muncul berdasarkan laporan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Diantaranya penugasan yang berat, jam belajar yang kaku, dan permasalahan kuota internet, serta persediaan fasilitas seperti smartphone dan laptop (kompas.com, 13/04). Aktivitas KBM pun menjadi tidak maksimal.
Dalam artikel “Sekolah Dibuka Kembali Juli, Berikut Panduan New Normal Cegah Corona” yang diterbitkan kompas.com (18/05), Kemendikbud memastikan tidak akan melakukan pengunduran tahun ajaran baru sekolah. Menteri Nadiem Makariem merencanakan sekolah akan segera kembali dibuka pada tahun ajaran baru di bulan Juli mendatang. Hal ini menandakan bahwa pembelajaran di sekolah akan dilaksanakan dengan kondisi ‘the new normal life’ atau kehidupan normal baru. Mungkinkah hal ini dilakukan, sedangkan saat ini kasus positif COVID-19 secara nasional terus bertambah?
Masih dalam artikel yang sama, menurut dr. Dicky Budiman M.Sc.PH, peneliti dan praktisi Global Health Security and Policy dari Centre for Environment and Population Health, Universitas Griffith Australia, pelaksanaan pola hidup baru dan pola kehidupan lainnya di berbagai sektor dan tingkatan selama pandemi COVID-19 harus mulai disosialisasikan. Dicky menuturkan, penerapan pola kerja baru sekolah harus dipersiapkan dengan matang.
Menurut Dicky, sekolah perlu menerapkan panduan secara lebih komprehensif, diantaranya, adanya proses skrining harian kesehatan bagi guru dan karyawan sekolah, skrining zona lokasi tempat tinggal, tes dengan Metode Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) sesuai standar World Health Organization (WHO), guru dan karyawan yang telah lolos tahapan skrining diberi tanda, sosialisasi virtual, pengaturan posisi duduk di ruang kelas dan ruang guru minimal berjarak 1,5 meter dan memakai pembatas plastik, serta tidak membuat kerumunan.
Kebijakan ‘the new normal education’ sempat dieksekusi oleh Pemerintah Korea Selatan. Namun kini ditunda karena terjadinya gelombang kedua kasus yang berasal dari klub di Itaewon, Seoul (m.koreaherald.com, 14/05). Melalui VOA News (18/05), sejumlah sekolah di Prancis ditutup kembali setelah tidak lama dibuka, karena 70 staf dan siswa diketahui positif.
Di tengah pandemi seperti itu, KBM menjadi tidak normal dan berbagai permasalahan terjadi. Namun, mengingat kasus positif masih bertambah, wacana ‘the new normal education’ yang akan dilaksanakan di Indonesia perlu ditinjau secara komprehensif dari segi kesiapan. Lebih lagi menganalisis kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan dari praktik kebijakan ini.
Untuk saat ini, evaluasi belajar di rumah dengan berbagai program turunannya juga perlu dilakukan dengan melakukan analisis secara terintegrasi dengan berbagai dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Harapannya, jika ‘the new normal education’ ditunda, kebijakan belajar di rumah pun dapat terus diperbaiki, mengingat ketidakpastian pandemi dan adanya gelombang kasus baru.
Vunny Wijaya
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)