Ribut soal keharusan impor beras atau tidak dalam beberapa waktu yang lalu, telah menyentak kesadaran bersama untuk mewujudkan pertanian presisi. Sistem budidaya pertanian yang sejak awal berbasis data dan perhitungan yang tepat. Termasuk produksi pertanian yang memastikan apa komoditas yang paling tepat dibudidayakan, dimana saja, kapan dan perhitungan produksi total nasional kita. Pertanian presisi menjadi langkah strategis demi terwujudnya visi kemandirian dan keunggulan bidang pertanian. Untuk inilah diperlukan langkah pengungkit yang berskala luas. Salah satunya pendataan lahan pertanian: luas, keadaan tanah, potensi sumberdaya air dan infrastrukturnya.
Sejauh ini pendataan lahan pertanian mengandalkan informasi dari kelompok tani melalui mekanisme penyusunan RDKK (Rencana Detil Kebutuhan Kelompok). Dalam RDKK inilah terdapat luasan lahan, rencana tanam dalam setahun dan proyeksi kebutuhan pupuk. Tidak semua kelompok tani memasukkan berapa sumber daya air yang tersedia dan keadaan tanah lahannya. Demikian juga tidak ada bukti verifikasi identitas petani selain pencantuman no KTP.
Dalam kasus tanam padi, RDKK inilah yang diajukan kepala daerah ke Menteri Pertanian dengan rekomendasi Gubernur untuk mendapatkan alokasi pupuk subsidi. Masalah di tingkat petani akan muncul manakala jumlah pupuk yang diajukan terlalu banyak atau terlalu sedikit alokasi subsidinya, termasuk jika pupuk subsidi datang tidak tepat waktu. Karena itulah muncul terobosan Kartu Petani untuk memastikan alokasi subsidi dan pemberian kredit mikro lain. Semangat dari Kartu Petani ini adalah untuk memastikan agar subsidi Pemerintah benar-benar sampai kepada yang berhak.
Di lapangan implementasi kartu tani ini menghadapi utama menyangkut kepastian luas lahan yang dikuasai petani pengola. Istilah penguasaan digunakan untuk tidak menyebut kepemilikan lahan. Tanpa kepastian luas lahan yang digarap petani maka kelompok tani dan pejabat yang memutuskan alokasi subsidi hanya dapat melakukan perkiraan. Kesulitan serupa akan dialami perbankan saat hendak memutuskan kelayakan dan nominal pemberian KUR. Demikian juga pihak asuransi untuk memastikan preminya dan pertanggungannya.
Akar Masalah:
Masalah seputar produksi pertanian ini sebenarnya berakar pada:
- Kepastian data petani: siapa mereka, bukti identitas yang ada, jumlah tanggungan, usia, tempat tinggal, dan data demografis lainnya.
- Luas Lahan: berapa luas lahan dalam secara akurat dalam hektar dan dimana lokasi lahan tersebut secara pasti, serta status kepemilikan lahan tersebut. Selama ini, data tersebut hanya diperoleh berdasarkan pada laporan kelompok tani. Kelompok tani tidak punya alat untuk memverifikasi lahan. Sementara, penggarap juga tidak memiliki surat tanah yang menerangkan luas lahan. Masih lazim terjadi di masyarakat kegiatan jual beli ladang dengan dasar saling percaya, karena nama yang tertera pada lembar PBB dengan pemilik terakhir seringkali tidak sama.
- Tidak diketahui pasti keadaan tanah lahan pertanian: kemiringan, kesuburan dan potensi air sekitarnya.
Verifikasi Itu Mudah!
Verifikasi lahan: luas, keadaan dan penggarapnya dengan teknologi IT saat ini menjadi sangat mudah. Jangan berikan subsidi pupuk kepada petani sebelum lahannya terverifikasi. Jangan ada kredit diberikan sebelum lahannya terverifikasi.
Bagaimana cara yang mudah dan murah? Salah satunya dengan menggunakan aplikasi HARA. Aplikasi ini dapat diandalkan karena mudah digunakan dan menerapkan teknologi blockchain untuk menjamin akuntabilitas dari data. Aplikasi diakses dengan menggunakan ponsel berGPS, agar data yang didapat bisa langsung masuk ke database HARA. Kelompok tani bertanggungjawab untuk melakukan:
- Verifikasi identitas petani: foto KTP, foto Kartu Keluarga, dan swafoto (foto selfie) petani dengan KTPnya, lalu mengirimkannya ke aplikasi HARA.
- Verifikasi data lahan: bersama pemilik lahan, mengelilingi lahan dengan ponsel untuk mendapatkan luas lahan, berikut poligon (bentuk peta lahan) dan koordinat lahan.
- Bersama PPL memastikan keadaan tanah. Selain untuk menentukan jenis tanaman dan bibit yang tepat, informasi keadaan tanah sangat penting untuk menentukan perlakuan yang tepat. Untuk melakukan hal ini, pihak PPL dan desa dapat melakukan pengadaan alat tes tanah yang harganya cukup terjangkau.
Saya membayangkan kegiatan ini dapat dilakukan secara mandiri oleh kelompok tani, dan berdasarkan hal itulah maka RDKK dibuat. Pemprov atau Pemkab/Pemkot mengarahkan, menginisiasi dengan pelatihan, dan pemberian insentif. Pengalaman HARA yang secara mandiri saat ini, dalam membantu berbagai pihak untuk memverifikasi data lahan dengan biaya perbidang hanya 20.000 rupiah. Jika dalam satu provinsi ada satu juta lahan, maka cukup dengan 20 milyar rupiah untuk menyelesaikan pekerjaan raksasa ini.
Terbitkan Piagam Luas Lahan.
Dari data lahan yang telah terverifikasi ini maka akan didapatkan kepastian luas lahan, kebijakan budidaya, pembiayaan, dan pasca panennya. Atas lahan yang sudah terverifikasi dapat diterbitkan sertifikat atau piagam luas lahan. Piagam ini dapat menjadi dasar ketepatan tarif PBB, subsidi, dan kredit. Dengan lokasi GPS lahan maka dapat dibuat rapor lahan, pemantauan status tanam, dan kepastian panen lewat satelit. Kelak bahkan jika ternyata setelah tiga tahun tidak ada konflik luas maka tinggal memastikan status kepemilikan, agar selanjutnya dapat diterbitkan sertifikat kepemikan tanah. Bayangkan jika pekerjaan 100 tahun dengan cara lama dapat diselesaikan dalam waktu 4 sampai 5 tahun, yaitu penerbitan sertifikat jutaan bidang tanah.
Sinergitas Kementrian Pertanian, Gubernur, Bupati, Walikota, Pemdes dan Kelompok Tani didukung oleh Kementrian Informasi dan BPN menjadi kunci sukses kerja dari terobosan ini. Tentu saja juga keberadaan pihak perbankan dan HARA Indonesia.
Suyoto, (Bupati Bojonegoro 2008-2018, Dewan Penasihat The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Advisor HARA Indonesia 2018-2019, dan Pengajar Unmuh Gresik).