Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik dan mengambil sumpah jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode tahun 2022-2027, pada 12 April yang lalu. Setelah pelantikan Pemerintah berharap dapat mempersiapkan Pemilu dan Pilkada dengan matang bersama KPU dan Bawaslu (Kompas.com, 10/4/2022).
Persiapan Pemilu dan Pilkada tahun 2024 sangat penting mengingat kedua kegiatan tersebut akan dilaksanakan secara serentak. Dalam rangka mempersiapkan Pemilu dan Pilkada serentak 2024, maka dibutuhkan mitigasi manajemen risiko berdasarkan analisa terhadap tantangan yang akan dihadapi dengan berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya dan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini.
Manajemen risiko dalam pemilu itu sendiri didefinisikan sebagai upaya sistematis yang dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan tentang dan kesadaran situasional akan risiko internal maupun eksternal. Manajemen risiko dilakukan dengan merujuk pada proses-proses untuk mengidentifikasi dan menganalisis tantangan-tantangan untuk mengambil tindakan pencegahan dan mitigasi (International IDEA, 2016).
Terdapat beberapa faktor risiko yang bersifat internal, yang akan menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu dalam rangka Pemilu dan Pilkada 2024, pertama, faktor kerangka hukum. Diperlukan regulasi sebagai payung hukum penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada serentak 2024. Selain itu, diperlukan penyamaan pandangan dari KPU dan Bawaslu agar tidak terjadi perbedaan penafsiran di antara dua lembaga penyelenggara pemilu yang dapat menjadi risiko bagi penyelenggaraan Pemilu serentak dan Pilkada di tahun 2024.
Kedua, faktor perencanaan dan manajemen pemilu. Persoalan perencanaan dan manajemen pemilu berkaitan dengan anggaran dan waktu pelaksanaan. Diperlukan perencanaan dan manajemen pelaksanaan yang baik oleh KPU dan Bawaslu sehingga alokasi anggaran pun dapat terserap secara efektif dan efisien.
Ketiga, faktor sumber daya manusia (SDM). Berkaca dari Pemilu 2019, pemilu serentak sangat menguras tenaga, sehingga tidak sedikit petugas pemilu yang sakit dan ada yang meninggal dunia. KPU dan Bawaslu dapat mengoptimalkan pendidikan dan pelatihan bagi SDM penyelenggara pemilu terutama bagi yang bertugas saat pemungutan suara seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) perlu untuk diperhatikan.
Keempat, pendaftaran pemilih. Persoalan pendaftaran pemilih menjadi risiko yang harus diperhatikan pada penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Pasalnya, persoalan pendaftaran pemilih menjadi persoalan yang kerap muncul pada setiap pemilu, misalnya adanya data ganda dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019. Untuk memperbaiki persoalan data pemilih, maka KPU, Bawaslu serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) diharapkan dapat memperbaiki proses pemutakhiran data pemilih. Perbaikan tahap ini dilakukan dengan membangun kesepakatan bersama tentang bahan utama data pemilih. Hal ini dapat digunakan untuk merevisi aturan yang ada saat ini, sehingga ke depan data pemilih lebih akurat dibandingkan pemilu sebelumnya.
Kelima, kampanye pemilu. Risiko yang terjadi pada masa kampanye, yaitu munculnya polarisasi pendukung calon presiden yang disertai ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). KPU dan Bawaslu memperkuat dan mempertegas aturan yang melarang peserta menggunakan kampanye yang berbau SARA.
Keenam, pelaksanaan pemungutan suara. Berkaca pada Pemilu 2019, proses pencoblosan suara diperkirakan akan memakan waktu yang cukup lama. Sama halnya dengan Pemilu 2019, pemilih akan memilih Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk mengatasi persoalan ini, diharapkan KPU dan Bawaslu dapat menyederhanakan administrasi penghitungan suara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Selain faktor internal, juga terdapat faktor eksternal yang akan menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu. Pertama, munculnya aktor bersenjata bukan negara. Ancaman dari aktor bersenjata bukan negara hadir di daerah yang rawan konflik, seperti di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini tentunya akan mengganggu penyelenggaraan Pemilu 2024. Keamanan bagi petugas penyelenggara pemilu sangat penting untuk dijaga. Begitu juga di saat proses tahap kampanye, pemungutan suara hingga penghitungan suara.
Oleh karena itu, diperlukan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia untuk mengantisipasi dan menjaga keamanan selama proses penyelenggaraan Pemilu di daerah rawan serangan kelompok bersenjata seperti di Papua dan Papua Barat.
Kedua, ancaman pandemi COVID-19. Indonesia masih berhadapan dengan pandemi COVID-19, munculnya varian baru COVID-19 akan menjadi tantangan bagi penyelenggaraan pemilu. KPU dan Bawaslu diharapkan dapat mengatur tahapan pemilu dan pilkada sesuai dengan protokol kesehatan.
Ketiga, perilaku media yang tidak etis. Perilaku media yang tidak etis dapat dilihat dengan meningkatnya penyebaran berita bohong di sosial media. Sosial media saat ini menjadi saluran informasi baru bagi masyarakat. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kerjasama antara KPU, Bawaslu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), serta kelompok masyarakat sipil untuk mendorong penguatan literasi digital kepada masyarakat. Penguatan literasi digital akan menumbuhkan pemahaman kritis masyarakat terkait informasi yang beredar. Masyarakat akan dapat memilah informasi yang didapat, apakah informasi yang diperoleh secara daring, termasuk info mengenai pemilu, hoaks atau tidak.
Berdasarkan paparan di atas, perlu untuk dilakukan mitigasi risiko dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Risiko-risiko ini merupakan permasalahan yang muncul setelah berkaca pada penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya. Risiko yang dapat diindentifikasi terjadi dari tahap penyusunan kerangka hukum hingga proses pemungutan dan penghitungan suara.
Risiko-risiko ini jika tidak diantisipasi sejak awal dan tidak dapat diatasi di kemudian hari, akan mengakibatkan menurunnya kualitas dan integritas penyelenggaraan Pemilu 2024. Penyelenggaraan pemilu yang buruk akan menyebabkan rendahnya kepercayaan peserta maupun pemilih.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com