Tidak terasa tahun 2019 telah berakhir dan tahun 2020 datang menyapa kita dengan segenap harapan barunya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tahun 2019 merupakan tahun yang penuh dengan ketidakpastian global. Jika digambarkan dalam satu kata maka “gamang” merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan negara-negara di dunia dalam menghadapi global uncertainty tahun lalu.
Genderang perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China pun semakin kencang ditabuh. September lalu, Pemerintah AS resmi memberlakukan tarif atau bea masuk kepada produk China senilai 112 miliar dollar AS. Gencatan perdagangan ini pun terus berlanjut hingga tahun ini. Alhasil, dampak perseteruan ini membuat banyak negara di dunia harus menelan pil pahit berupa hilangnya momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi dunia.
Lebih lanjut, dilansir melalui Reuters, International Monetary Fund (IMF) memangkas perkiraan untuk pertumbuhan perdagangan global sebesar 0,9 persen menjadi 2,5 persen untuk 2019. Akibatnya, bagi negara-negara yang pertumbuhan ekonominya sangat tergantung dengan ekspor (40 persen ke atas terhadap Produk Domestik Bruto/PDB), mau tidak mau harus menerima pukulan telak akibat meredupkan volume ekspor perdagangan global.
Memasuki bulan terakhir di tahun 2019, Indonesia merilis laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019. Berdasarkan hitung-hitungan BPS, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,02 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy). Sebelumnya, pada kuartal I dan II-2019, ekonomi Indonesia juga berhasil tumbuh sebesar 5,07 persen dan 5,05 persen (BPS, 2019).
Hal ini patut disyukuri karena di tengah ketidakpastian global dan juga memanasnya hubungan dagang Amerika-China membuat banyak negara di dunia tumbuh kurang dari 5 persen, misalnya Malaysia yang hanya tumbuh 4,9 persen, Thailand 3,7 persen, Brasil 1,01 persen, dan Rusia 0,9 persen. Namun, dengan segala daya upayanya, Indonesia masih mampu tumbuh di angka 5 persen kendati sedikit mengalami perlambatan jika dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya.
Tahun ini nyatanya juga bukan merupakan tahun yang mudah untuk dilalui. Dunia masih dihantui dengan berbagai persoalan khususnya masalah resesi global yang sudah diambang pintu, Di Indonesia sendiri, kita juga dihadapi oleh beberapa tantangan yang harus segera diselesaikan pada tahun ini baik dari sisi internal maupun eksternal
Kuantitas Pertumbuhan Ekonomi
Pertama, jika kita menengok data dari BPS, menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dasawarsa ini (1999 hingga 2018) sebesar 5,27 persen yoy. Angka ini nyatanya masih berada di bawah capaian rata-rata laju pertumbuhan ekonomi pada era Orde Baru yang mencapai sebesar 5,98 persen (BPS, 2000). Padahal, jika kita mengutip Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan ekonomi dapat tumbuh rata-rata 7 persen.
Alhasil, pekerjaan berat yang harus kita hadapi adalah upaya untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen. Ditambah saat ini dunia sedang dihadapkan dengan ketidakpastian global yang sangat tinggi, belum lagi masih kencangnya genderang perang dagang AS-China yang semakin membuat kinerja perdagangan dunia terus merosot.
Bagaimanapun juga kuantitas pertumbuhan ekonomi menjadi faktor penting mengingat ekonomi yang tumbuh tinggi akan berdampak positif terhadap berbagai indikator kesejahteraan lainnya. Hal ini juga menjadi batu loncatan untuk keluar dari tempurung middle income trap yang selama ini menjadi dinding penghalang Indonesia untuk bergerak naik menjadi negara maju.
Selain dari sisi kuantitas, sisi kualitas pertumbuhan juga perlu diperhatikan. Untuk mengukur kualitas pertumbuhan ekonomi kita dapat melihatnya dari angka rasio gini. Berdasarkan catatan BPS, rasio gini bulan Maret 2018 berhasil menjadi yang terendah sejak tujuh tahun terakhir, atau sejak bulan September 2011. Hal ini mengindikasikan memang adanya perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia.
Kendati demikian, jika kita melihat lebih dalam, nyatanya sejak bulan September 2016, rasio gini di perdesaan terus merangkak naik. Terakhir pada bulan Maret 2018 sebesar 0,324 atau naik 0.004 dibandingkan bulan Maret 2017 yang hanya sebesar 0.320. Artinya, ketimpangan di desa cenderung mengalami kenaikan.
Adapun salah satu penyebab rasio gini di perdesaan naik karena kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan penduduk kelompok 40 persen terbawah yang lebih cepat dibandingkan penduduk kelompok 40 persen menengah. Namun, kenaikan ini lebih lambat dari penduduk 20 persen teratas.
Untuk detilnya, kenaikan rata-rata pengeluaran perkapita periode September 2017-Maret 2018 di perdesaan untuk kelompok penduduk 40 persen terbawah, 40 persen menengah, dan 20 persen teratas berturut-turut adalah sebesar 2,93 persen, 2,35 persen, dan 4,95 persen (CNBC, 2018).
Defisit Transaksi Berjalan
Sebagai penutup, persoalan defisit transaksi juga menjadi hal penting untuk dibenahi. Pada prinsipnya, defisit transaksi berjalan sebenarnya merupakan masalah yang normal dalam tahap pembangunan. Hampir semua negara berkembang pada tahap awal pembangunannya mengalami defisit transaksi berjalan. Hal ini terjadi lantaran negara-negara yang masih dalam tahap pembangunan tidak memiliki barang modal yang cukup, sehingga harus mengimpornya dari negara maju. Namun, persoalan defisit ini juga tidak dapat dipandang sebelah mata karena memiliki efek lanjutan yang mampu menggerogoti ketahanan internal perekonomian dalam negeri.
Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia (BI), Jumat (8/11/2019), defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III/2019 tercatat sebesar US$7,7 miliar atau 2,7 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada kuartal sebelumnya yang mencapai US$8,2 miliar atau 2,9% dari Produk Domestik Bruto (Bisnis.com, 2019). Kendati mengalami penurunan, kita juga harus tetap mewaspadai hal ini dan jika bisa defisit transaksi berjalan harus terus ditekan menjadi seminim mungkin.
Pasalnya, defisit neraca transaksi berjalan akan membawa konsekuensi ekonomi yang tidak ringan. Untuk menyeimbangkan kembali neraca pembayaran, Indonesia mau tidak mau harus mengandalkan aliran dana lewat neraca finansial dan neraca modal. Imbasnya, perekonomian terbebani oleh risiko arus uang panas (hot money) dan utang.
Sepanjang 2019, berdasarkan catatan Bursa Efek Indonesia (BEI), total akumulasi jual bersih (net sell) investor asing di pasar saham mencapai Rp2,6 triliun di pasar reguler, dari kurun waktu 18 April – 6 Mei 2019. (CNBC, 2019). Sementara, BI mencatat arus masuk modal asing atau capital inflow ke Indonesia per 4 Juli 2019 telah mencapai Rp170,1 triliun. Uang panas ini bersifat temporer yang sewaktu-waktu dan dalam tempo sekejap, bisa keluar dari pasar.
Gambaran di atas sejatinya menjadi peringatan keras bahwa struktur perekonomian masih rapuh. Kerapuhan struktur ekonomi merepresentasikan naiknya tingkat kerawanan terhadap gejolak eksternal. Depresiasi rupiah sampai menembus level psikologis Rp15.000 per dolar AS pada tahun lalu seolah menjadi justifikasinya.
Inilah sekelumit pekerjaan rumah yang akan hadapi Indonesia pada tahun 2020 ini. Banyak tantangan yang harus diselesaikan dan juga ada harapan akan banyak perubahan ke depannya.