JAKARTA – Peneliti bidang politik The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono memaparkan sejumlah langkah yang dapat dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) guna mengatasi persoalan data pemilih. Persoalan data pemilih selalu terjadi pada tiap penyelenggaraan pemilu.
“Agar permasalahan daftar pemilih tidak kembali terulang seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, setidaknya perlu dilakukan beberapa langkah-langkah tepat. Pertama, KPU bersama Kementerian Dalam Negeri harus meningkatkan akurasi proses sinkronisasi daftar penduduk potensial pemilih pemilu atau DP4 dan data pemilih tetap terakhir,” ujar Arfianto di Jakarta, Kamis (3/5).
Arfianto mengatakan, akurasi DP4 dan DPT terakhir penting untuk menentukan jumlah pemilih tetap, TPS, serta surat suara. Langkah kedua adalah meningkatkan koordinasi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), media massa, dan kelompok masyarakat sipil untuk meningkatkan pengawasan setiap tahapan dalam penetapan daftar pemilih.
Sementara itu, langkah ketiga, KPU bersama media massa serta kelompok masyarakat sipil perlu terus mendorong partisipasi aktif masyarakat untuk mendaftarkan diri dan melaporkan jika terjadi kesalahan pendataan pemilih. “Langkah-langkah ini dapat diambil sebagai usaha pencegahan munculnya permasalahan daftar pemilih,” ujar dia.
Sejauh ini, KPU RI mulai melaksanakan Gerakan Pencocokan dan Penelitian (Coklit) data pemilih Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 di dalam dan luar negeri secara serentak. Coklit dilakukan oleh Panitia Pemutakhiran Data Pemilih selama satu bulan mulai 17 April hingga 17 Mei 2018.
Menurut Arfianto, Gerakan Coklit juga sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi persoalan daftar pemilih yang kerap muncul dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilu nasional maupun dalam pilkada. Hal ini karena daftar pemilih sangat rawan untuk dimanipulasi.
Dia menekankan, jika berkaca dari Pemilu 2009 dan 2014, masalah daftar pemilih terjadi pada saat penyusunan daftar pemilih. Hal ini karena belum sinkronnya data KPU dengan data Kemendagri.
Pada pemilu 2009, menurut data Kemitraan (2011), jumlah pemilih tidak terdaftar dan pemilih siluman diperkirakan sekitar 31 juta pemilih. Pemilih siluman adalah nama pemilih yang sudah meninggal, pemilih yang sudah lama pindah, warga negara yang belum berhak memilih, pemilih yang juga terdaftar di dua atau lebih daerah lain, dan pemilih yang kemudian bekerja sebagai anggota TNI/ Polri belum dihapus dari DPT.
Sementara itu, pada Pemilu 2014, Bawaslu mempermasalahkan data-data pemilih yang berubah drastis antara data yang masih di tingkat DPT dan data tingkat sistem data informasi pemilih.
Sumber: Republika.co.id.