“Debat Kedua Lebih Menarik, Jokowi Masih Unggul”
Menanggapi Debat Kedua Capres kali ini, Direktur The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Adinda Tenriangke Muchtar, mengatakan bahwa Capres 01 Joko Widodo (Jokowi) mengawali visi dan misi terkait isu lingkungan, energi, infrastruktur, dan sumber daya alam dengan pesan yang runut dan jelas.
“Jokowi menyampaikan visi misinya dengan menjawab tema-tema terkait debat kedua berdasarkan isu yang diangkat, disertai dengan contoh serta data dan angka yang jelas. Sementara, Capres 02, Prabowo Subianto cenderung mendekati tema-tema kali ini dengan gaya komunikasi yang retorik, terutama dengan menekankan swasembada pangan dan energi, kepastian penyaluran pupuk untuk petani. Namun, Prabowo tidak memperkuat visi misinya dengan contoh maupun data dan fakta, serta masih mempertahankan gaya bicara yang menekankan retorika soal swasembada dan permasalahan umum yang deskriptif. Ini juga terjadi di debat sebelumnya. Dengan demikian, dari sisi informasi yang edukatif, Jokowi lebih unggul dibandingkan Prabowo.” Tanggap Adinda.
Ia juga menambahkan bahwa Jokowi dengan posisinya sebagai petahana dan program kerjanya selama ini, jelas memiliki kelebihan ketika membicarakan soal tema teknis seperti mengenai infrastruktur, energi, pangan dan lingkungan dengan detil dan disertai program dan contoh nyata yang sudah dan tengah berjalan.
Adinda menambahkan bahwa yang menarik dari debat kedua yang diinformasikan tanpa kisi-kisi kali ini membuat debat kali ini menjadi pendidikan pemilih yang mengalir, menarik dan seru, terutama saat Prabowo mengkritik proyek infrastruktur Jokowi yang tidak efisien dan dipertanyakan keberlangsungan dan pembiayaannya. Bahkan Prabowo juga spesifik menyebutkan beberapa contoh seperti LRT, Kertajati dsb, yang dijawab Jokowi dengan tegas bahwa perubahan budaya penggunaan transportasi publik dan membutuhkan waktu.
Catatan terkait infrastruktur menurut Adinda adalah belum dielaborasinya persoalan tentang proses penggunaan lahan untuk kepentingan umum yang inklusif, terutama terkait dampak sosial kepada kelompok masyarakat marjinal. Penjelasan dari Prabowo masih normatif, sementara Jokowi lebih menekankan pada soal ganti rugi saat memanggapi kritik Prabowo soal kurangnya dampak ekonomi pembangunan infrastruktur yang dirujuknya dari laporan Bank Dunia. Selain itu, tidak ada info soal konflik lahan sama sekali yang dielaborasi oleh kedua kandidat meskipun hal ini masih menjadi polemik terkait penggunaan lahan untuk kepentingan umum.
Debat kedua kali ini juga lebih menarik karena contoh-contoh dan rujukan yang disampaikan kedua kandidat, seperti Jokowi yang menekankan bahwa proyek infrastruktur 191 ribu km yang diperuntukkan untuk rakyat bawah masih kerap tidak dipandang orang. Contoh Jokowi mengenai investasi dan program pemerintah untuk mempersiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia, khususnya terkait revolusi industri 4.0 dan rantai antara petani dan konsumen yang difasilitasi oleh market place juga menjadi contoh yang menarik dan dapat membangun optimisme menghadapi tantangan dan kesempatan kemajuan teknologi lewat pembangunan online and offline, serta pembangunan SDM dan tidak sebatas infrastruktur.
Isu lingkungan juga tidak kalah menarik dan hangat, apalagi saat Prabowo mengkritik keberadaan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan dalam satu atap, serta akan tegas soal pemberian ijin pemanfaatan lahan. Sementara, Jokowi menanggapi dengan menegaskan 11 perusahaan telah dikenai sanksi 18,3 Triliun rupiah lewat penegakan hukum yang tegas. Bahkan pemerintah sudah memulai bersihkan sungai karena polusi seperti Citarum Harum. Jokowi juga tak lupa mengapresiasi kabinetnya dan partisipasi masyarakat selama ini.
Adinda berpendapat, debat kedua yang lebih mengalir ini juga tampaknya dapat ditanggapi dan dihadapi oleh kedua kandidat dengan baik, baik dari sisi konten maupun pengaturan waktu, serta ekspresi saat menyatakan pandangan masing-masing. Yang patut dicatat juga adalah debat kali ini juga lebih kaya dengan pertanyaan yang berbobot dan kontekstual para pakar, ekspresi apresiasi dan di sisi lain juga kritik dan tanggapan yang tajam dari para kandidat. Hal ini jelas membuat debat kedua jauh lebih menarik daripada debat pertama, apalagi dengan beragam topik debat yang dapat dibilang hangat dan sensitif bagi kedua kandidat.
Misalnya saja soal reformasi agraria dan target Jokowi untuk membagikan 12,7 sertifikat tanah dan konsesi kepada masyarakat adat. Ini juga jadi poin penting tentang pentingnya keberpihakan kepada masyarakat lewat pengakuan terhadap kepemilikan lahan dan upaya mendorong akses ekonomi yang berlandaskan hukum agar dapat memanfaatkan lahan untuk kesejahteraannya.
Pernyataan Jokowi soal besarnya lahan kepemilikan Prabowo yang diatur bukan di masa Jokowi juga menjadi pukulan telak kepada Prabowo, mengingat masalah agraria adalah salah satu masalah yang terkait dengan pemerintahan di masa Orde Baru. Prabowo juga tidak mengelaborasi strateginya soal masalah lahan dan hanya merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 saat mengkritik Jokowi soal bagaimana masa depan untuk penduduk Indonesia yang semakin bertambah. Adinda mengatakan, dalam hal ini, justru Prabowo harusnya memahami bahwa yang dilakukan pemerintah adalah memberikan kepastian hukum untuk pemanfaatan lahan dan menata pengelolaan lahan publik yang selama ini tidak dimanfaatkan kepada masyarakat lewat pembagian sertifikat, bukan membagikan lahan begitu saja.
Di sesi dimana para kandidat memiliki keleluasaan waktu untuk memperdalam visi misinya terkait permasalahan pertambangan dan perikanan, tampak menjadi sesi yang cukup menantang untuk para kandidat. Jokowi tampak lebih unggul dan nyaman menanggapi sesi ini dengan menjabarkan program-programnya selama ini dan upayanya sebagai pemimpin untuk memastikan pekerjaan pemerintah berjalan semestinya, serta membutuhkan waktu dan proses untuk menjalankan pemerintahan di negeri yang luas ini.
Debat kedua yang terkait dengan sesi tanya jawab diantara para kandidat, argumentasi kedua kandidat diuji terkait visi misi yang akan diusungnya jika terpilih. Kritik Prabowo soal impor mampu dijawab Jokowi dengan baik saat menjelaskan pentingnya impor untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pangan dan stabilitas harga, yang merupakan tanggung jawab pemerintah.
“Di sisi lain, argumen Jokowi juga bisa diperkuat dengan menjelaskan bahwa selain kebutuhan itu, impor juga perlu dilihat sebagai salah satu cara untuk memberikan pilihan produk lain yang bermutu dan dapat dijangkau masyarakat. Penjelasan Jokowi soal hukum ekonomi, ketersediaan pangan dan stabilitas harga maupun penekanan Prabowo soal swasembada pangan juga menunjukkan kesamaan penekanan retorika kedua kandidat pada isu swasembada. Padahal harus dipahami impor yang tidak lepas dari kebutuhan pangan selain stabilitas harga dan penyediaan alternatif produk konsumsi, juga merupakan bagian dari globalisasi dan interdependensi yang tidak terelakkan antar negara dalam hubungan internasional.” Tukas Adinda.
Sebagai penutup, Adinda mengatakan bahwa seharusnya debat capres juga menjadi media untuk pendidikan pemilih yang berbobot dan realistis, serta tidak hanya mengutamakan retorika terbatas dan mengambang soal nasionalisme dan swasembada pangan. Lepas dari keterbatasan waktu, masyarakat berhak mendapatkan paparan yang informatif berdasarkan data dan fakta, serta edukatif agar dapat menjadi pertimbangan yang rasional bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang layak dan terbaik untuk seluruh rakyat Indonesia.
Ia juga menambahkan apresiasi kepada KPU dan para pihak penyelenggara debat capres ini. Kembali kepada kita sebagai pemilih untuk membuka mata dan telinga untuk memanfaatkan informasi yang ada untuk menggunakan hak pilih kita dengan bijak dan rasional untuk Indonesia yang lebih baik untuk semua.
Info lebih lanjut:
Adinda Tenriangke Muchtar
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute
08129507667