Pada masa sidang pertama setelah reses saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki banyak agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang termaktub di dalam Prolegnas maupun yang dinilai mendesak.
Salah satu agenda pembahasan RUU yang menjadi sorotan adalah RUU Revisi UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Pembahasan RUU MD3 menjadi sorotan karena pengaturan kelembagaan DPR di dalam UU yang berlaku sekarang dinilai masih sangat lemah.
Hal ini berdampak pada fungsi-fungsi yang melekat pada DPR (seperti fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan) tidak berjalan secara efektif.
Khusus terhadap fungsi anggaran, terlihat masih lemahnya mainstream politik anggaran dari anggota DPR, artinya belum bisa mengalokasikan anggaran sesuai mandat yang diterima dan sesuai kebutuhan masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan yang dominan dalam anggaran adalah pos-pos yang rutin saja.
Catatan lain terhadap proses pembahasan anggaran di DPR adalah rendahnya ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan anggaran tersebut.
Hasil riset The Indonesian Institute tentang Proses Pembahasan RUU APBN di DPR (2012) menemukan bahwa pembahasan teknis anggaran hanya melibatkan DPR dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintahan.
Seharusnya DPR menyerap aspirasi dari masyarakat sebagai bahan pembanding guna pembahasan anggaran tersebut. Proses pembahasan RUU APBN di DPR tidak menyediakan forum untuk mendengarkan suara publik.
Padahal seharusnya forum itu bisa juga dilaksanakan, seperti halnya pembahasan RUU lainnya. Ini disebabkan karena DPR menerima bulat-bulat hasil Musrenbang dari Pemerintah, karena dinilai sudah mencakup aspirasi masyarakat.
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang jamak dilakukan DPR dalam pembahasan berbagai RUU, tidak dijumpai dalam pembahasan RUU Anggaran.
RDPU dalam pembahasan RUU APBN bisa menjadi alat kontrol DPR terhadap rancangan yang disampaikan pemerintah karena akan mendapat info dan data pembanding dari masyarakat.
Alasan yang dikemukakan DPR terkait tidak adanya RDPU pembahasan RUU APBN adalah karena keterbatasaan waktu dalam pembahasan RUU APBN tersebut. Sedangkan ruang partisipasi masyarakat diasumsikan telah diakomodasi pada saat Musrenbang yag dilakukan pemerintah.
Proses pembahasan RUU APBN yang cenderung tertutup baik pembahasan di tingkat komisi maupun di Badan Anggaran (Banggar). Ditambah lagi dengan minimnya partisipasi masyarakat, membuat masyarakat mempertanyakan akuntabilitas proses pembahasan tersebut.
Oleh karena itu menyikapi persoalan tersebut, diperlukan revisi UU MD3 27/2009 yang mengatur tentang, pertama, mekanisme atau sistem informasi anggaran di DPR yang tersedia dan bisa diakses langsung oleh masyarakat.
Informasi anggaran yang dimaksudkan meliputi data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dokumen hasil Musrenbang nasional lengkap dengan lampiran-lampirannya, Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Rencana Kerja dan Anggaran-Kementerian/Lembaga (RKA-KL), RAPBN, RAPBNP, UU APBN, LKPP dan UU Pertanggungjawaban APBN dengan lampirannya.
Kedua, pengalokasian APBN yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kesiapan DPR akan data yang komprehensif mengenai peta kebutuhan masyarakat dan gambaran penganggarannya. Maka untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan badan fungsional yang secara khusus menangani anggaran seperti Parliamentary Budget Office (PBO).
Beberapa tugas penting PBO versi DPR ini adalah, pertama melakukan kajian terkait kebutuhan masyarakat berikut proyeksi anggarannya dan data ini menjadi dasar argumen DPR ketika membahas RUU APBN dengan pemerintah.
Kedua, untuk mewujudkan anggaran berbasis kinerja dan juga sebagai sebuah mekanisme bagi DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan anggarannya.
Hendaknya badan fungsional ini melacak kesesuaian semua dokumen kebijakan di setiap alur penganggaran APBN. Kemudian secara ringkas, melihat apakah program berikut penganggarannya sesuai dengan yang diusulkan sejak dari proses Musrenbang hingga ketok palu di DPR.
Hal ini sangat penting guna mendorong transparansi dan akuntabilitas penganggaran di DPR ke depan.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research (ameliaislola@gmail.com)