Foto TII.

Reshuffle Kabinet Terus Tertunda, Karena Sistem Presidensial Tidak Sempurna.

Jakarta – Direktur Riset Populi Center, Usep S. Achyar mengatakan, terlepas bahwa politik praktis itu bicara tentang siapa mendapat apa dan bagaimana, reshuffle atau perombakan kabinet selain diinginkan untuk perbaikan kinerja, juga diinginkan untuk stabilitas politik. Terlebih, berdasarkan survei yang dilakukan lembaganya, masyarakat banyak menaruh harapan agar reshuffle segera dilakukan, karena banyak menteri yang dipandang kinerjanya tidak baik.

“Persoalannya, sistem presidensial di Indonesia tidak sempurna,” ujarnya dalam seri diskusi bertajuk “Reshuffle dan Tata Kelola Kabinet Kerja” yang digelar The Indonesian Institute, di Jakarta, Kamis (28/4/2016).

Itulah yang membuat presiden seperti tidak punya kemandirian dalam mengambil keputusan menyangkut beberapa isu tertentu. Termasuk keputusan merombak kabinet yang terus-menerus tertunda dan sekedar jadi wacana, padahal itu mutlak merupakan hak prerogatifnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

“Keputusan-keputusan Presiden sangat dipengaruhi oleh peta politik dalam Parlemen. Presiden tentu tidak bisa tidak memperhitungkan partai politik. Jadi ada perhitungan politik, perhitungan persepsi masyarakat, dan perhitungan momentum. Hal itu adalah persoalan dalam pertanyaan soal kemandirian itu,” tuturnya

Pada akhirnya, lanjut Usep, tidak semua yang dijanjikan oleh Jokowi dapat dilakukan. Misalnya, janji bahwa sebagian besar menteri adalah profesional, yang faktanya tidak terwujud.

Menurutnya, Jokowi-Jusuf Kalla sebetulnya telah berusaha menghilangkan stigma bahwa mereka hanya memilih partai pendukung, dengan terus melakukan upaya untuk merangkul partai-partai lain.

“Namun, saat itu situasinya memang sangat tergantung pada peta politik, selain perspektif Jokowi tentang kalangan profesional itu seperti apa,” ujarnya.

Usep menambahkan, dorongan terhadap reshuffle kabinet jilid II sebetulnya mulai mengemuka ketika mulai terjadi perubahan politik dalam koalisi. Perubahan koalisi inilah yang menyebabkan peta politik berubah. Selain, karena pengaruh konflik internal di sejumlah partai politik seperti di Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

“Perubahan peta politik sebetulnya tidak selalu berdampak negatif, malah dapat memberi dampak positif. Secara internal, itu dapat memperkuat posisi Jokowi- JK dalam menjalankan pemerintahan. Misal ketika PAN masuk ke dalam koalisi,” ujarnya.

Sumber: Indekberita.com.

Komentar