Mimpi Indonesia 10 (sepuluh) tahun mendatang bebas korupsi merupakan salah satu impian yang dibacakan oleh dua siswa sekolah dasar (SD) dalam Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi RI di Istana Merdeka, 17 Agustus 2015 lalu. Impian tersebut pastinya bukan sekedar impian “anak SD”, melainkan patut menjadi impian kita bersama, bangsa Indonesia.
Pada peringatan hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan RI yang ke-70, komitmen mencegah dan memberantas korupsi kembali dipertanyakan saat Pemerintah memberikan remisi (pengurangan masa pidana) bagi koruptor. Berdasarkan catatan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) jumlah narapidana korupsi di Indonesia mencapai 2.786 orang. Sebanyak 517 orang diantaranya mendapatkan remisi dengan berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2006 dan 1.421 orang mendapat remisi dengan berlandaskan pada PP No. 99 Tahun 2012. Dari data tersebut, jumlah koruptor yang mendapatkan remisi mencapai 1938 orang. Sisanya, pemberian remisi untuk 848 koruptor masih dikaji untuk dilakukan pendalaman menurut ketentuan perundang-undangan. Sedangkan permohonan remisi dari 16 orang napi kasus korupsi ditolak (Republika.co.id, 18 Agustus 2015).
Di sisi lain Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama semester I di tahun 2015, ada 193 perkara korupsi dengan 230 terdakwa yang telah diadili, baik ditingkat pertama (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi), banding (Pengadilan Tinggi), kasasi ataupun peninjauan kembali (Mahkamah Agung). Namun dari jumlah itu, 163 terdakwa atau 70,9% dihukum dalam rentang satu sampai empat tahun (www.antikorupsi.org).
Emerson Yuntho selaku Koordintaor Hukum dan Peradilan ICW memandang bahwa hukuman bagi koruptor sebagaimana catatan ICW di atas sangatlah ringan. Apabila ditambah dengan obral remisi bagi mereka hal ini tentu melemahkan semangat memberantas korupsi. Para koruptor bisa jadi hanya akan menjalani 1/3 atau 2/3 dari masa hukuman yang semestinya mereka jalani. Tentu ini berkorelasi positif terhadap penurunan efek jera bagi para koruptor. Beberapa pengamat juga sepakat bahwa pemberian remisi ini adalah wujud ketidakberpihakan Pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.
Pada dasarnya pemberian remisi bagi koruptor dilakukan Kemenkumham dengan rasionalisasi mentaati hukum yang berlaku. Berpijak pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, remisi merupakan salah satu hak narapidana tanpa ada ketentuan khusus apakah itu narapidana tindak pidana korupsi atau yang lainnya. Berkaitan dengan syarat dan tata cara pemberian remisi itu, Pemerintah mengaturnya lebih lanjut dalam PP No. 28 Tahun 2006 dan PP No. 99 Tahun 2012. Kedua PP tersebut diberlakukan juga bagi terpidana korupsi, narkotika, kejahatan transnasional, terorisme, dan kejahatan HAM setelah diterbitkan Surat Edaran Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (SE Menkumham) Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013.
Berdasarkan SE Menkumham tersebut diatur bahwa PP No. 99 Tahun 2012 berlaku bagi narapidana yang putusan pidananya memiliki kekuatan hukum tetap setelah 12 November 2012. Sedangkan yang divonis sebelum 12 November 2012 berlaku ketentuan dalam PP No. 28 Tahun 2006. Dualisme hukum ini terjadi karena asas dalam hukum pidana di Indonesia adalah tidak berlaku surut. Pertanyaannya bagaimana apabila pelaksanaan pemberian remisi dalam PP No. 28 Tahun 2006 cenderung lebih longgar dari pada PP No. 99 Tahun 2012? Apakah adil bagi “koruptor lama” atau “koruptor baru”?
Sebenarnya yang lebih krusial lagi adalah apabila remisi ini dapat diberikan dengan longgar, bahkan 2-3 kali dalam setahun, para koruptor dengan masa pidana 1-4 tahun tentu tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk menghirup udara bebas. Inilah masalah yang membuat banyak pengamat korupsi gelisah. Sebab sudah disepakati bersama bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan penangan luar biasa (extraordinary enforcement).
Membaca arah pemikiran sistem pemidanaan di Indonesia berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pemidanaan memiliki 4 (empat) tujuan, yaitu: (1) pencegahan; (2) pemasyarakatan terpidana; (3) penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan; dan (4) pembebasan rasa bersalah terpidana. Menurut Soema Dipradja dan Atmasasmita sistem pemasyarakat di Indonesia menganut prinsip bahwa orang yang tersesat harus tetap diayomi, dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk penjara.
Hal itu lah yang menjadi dasar pemikiran kepada narapidana negara masih memberinya hak-hak dan salah satunya hak mengajukan remisi. Tugas negaralah selanjutnya untuk memutuskan apakan akan memberi remisi atau tidak. Tentunya dengan syarat-syarat dan tata cara yang tidak boleh menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pandangan penulis sebetulnya pemberian remisi ini tidak serta merta dapat dikatakan mengurangi efek jera apabila syarat yang harus dipenuhi tidak dipermudah. Khusus bagi terpidana korupsi harus diberikan syarat dan cara khusus yang lebih ketat dari terpidana lainnya.
Lagi pula setelah koruptor tersebut divonis oleh hakim selanjutnya ia akan masuk lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan disini dibentuk bukan tempat untuk memberikan efek jera, melainkan tempat untuk mencapai tujuan dari pemidanaan salah satunya pembinaan. Pembinaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan narapidana untuk memperbaiki diri.
Sementara pemberian efek jera pada prinsipnya ada pada proses peradilan. Misalnya dengan memberikan vonis yang berat kepada koruptor. Problemnya sekarang apakah vonis hakim terhadap koruptor selama ini sudah sesuai dengan besarnya dampak negatif akibat korupsi? Kalau melihat data dari ICW yang telah penulis uraikan sebelumnya vonis hakim terhadap koruptor masih rendah.
Penulis meyakini bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi membuat lembaga-lembaga publik terpuruk sehingga menghambat pencapaian tujuan nasional. Oleh karenanya pelaku kejahatan korupsi tidak dapat disamakan dengan pelaku tindak pidana umum lainnya.
Penulis sepakat jika koruptor diberikan remisi asalkan, pertama, terpidana statusnya adalah justice collaborator yaitu merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu tetapi bukan pelaku utama, mengakui kesalahannya, dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Kedua terpidana sudah membayar lunas uang denda (pengganti) dari tindak pidana korupsinya. Ketiga terpidana mendapat rekomendasi dari penegak hukum yang menangani kasusnya. Keempat, remisi diberikan hanya satu kali dalam satu tahun dengan maksimal pengurangan masa pidana 1 bulan. Kelima, remisi baru bisa diajukan setelah menjalani sekurang-kurangnya 1/3 masa hukuman.
Apakah ke-1983 narapidana tindak pidana korupsi yang telah mendapat remisi dari Kemenkumham pada HUT Kemerdekaan RI yang ke-70 kemarin telah memenuhi syarat-syarat tersebut? Jawabannya masih menunggu transparansi Kemenkumham berkaitan dengan pemberian remisi bagi koruptor.
Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com