Rapor Kinerja, Reshuffle Kabinet, dan Suara Publik

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mengumumkan rapor penilaian akuntabilitas kinerja kementerian dan lembaga. Ada beberapa yang menjadi indikator dalam penilaian akuntabilitas, yaitu penerapan program kerja, dokumentasi target tujuan, dan pencapaian organisasi.

Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan menempati urutan teratas pada tahun ini.
Ketiganya mendapatkan peringkat teratas karena dinilai berhasil menerapkan manajemen yang baik, sehingga mampu membangun etos kerja yang berorientasi pada hasil, sebagai bentuk akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Namun sayangnya secara keseluruhan terdapat 16 Kementerian yang mengalami penurunan kinerja contohnya seperti Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang mengalami penurunan 7,75 poin, dari 61,73 pada tahun lalu dan saat ini menjadi 53,98. Kemudian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengalami penurunan 6,53 poin, dari 66,7 menjadi 60,17 serta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengalami penurunan 6,24 poin, dari 70,07 menjadi 63,83.

Entah kebetulan atau tidak, evaluasi akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga dikeluarkan di tengah menghangatnya isu reshuffle kabinet. Isu ini semakin menguat setelah pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa hasil rapor ini merupakan salah satu bahan pertimbangan untuk menentukan reshuffle kabinet (http://news.liputan6.com, 15/12/2015).

Memasuki tahun 2016 ini, banyak pihak (terutama dari partai politik diluar pemerintahan) yang menginginkan adanya reshuffle kabinet. Pasalnya dengan adanya reshuffle, hal ini dapat mengakomodir partai-partai diluar pemerintahan guna masuk memperkuat kabinet.

Kuatnya kabinet yang didukung banyak partai diharapkan dapat membuat tensi politik nasional lebih stabil dibanding tahun sebelumnya yang penuh dengan kegaduhan. Akan tetapi sangat penting untuk kita ingat bahwa reshuffle adalah hak prerogative presiden, bukan dari kepentingan sekelompok orang.

Terlepas dari evaluasi Kemenpan-RB, bagi publik, pertanyaan yang sederhana jika dikaitkan dengan kinerja pemerintah adalah apakah janji-janji yang diusung selama kampanye telah terwujud? Apakah revolusi mental telah diresapi oleh aparatur-aparatur birokrasi kita hari ini? sehingga melahirkan aparatur-aparatur birokrasi yang jujur dan antikorupsi.

Jika jawabannya belum tercapai, maka ini jelas akan memunculkan ketidakpuasan publik terhadap pemerintah. Kekecewaan dan ketidakpuasan publik inilah yang juga seharusnya didengar oleh presiden guna memutuskan untuk mereshuffle kabinetnya. Kabinet kerja harus kerja lebih keras lagi untuk mewujudkan janji-janjinya.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar