Foto: WartaBromo

Pilu Pemilu Serentak Dalam Potret Hari Buruh Sedunia

Pemilihan Umum (pemilu) 2019, menjadi pemilu serentak pertama sekaligus yang paling memilukan dalam sejarah. Hal ini dikarenakan jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal akibat kelelahan menyelesaikan rekapitulasi perhitungan suara saat ini, tercatat telah mencapai 380 orang, dengan jumlah yang sakit sebanyak 3.192 orang (detik.com 01/05). Angka tersebut, tentunya terlihat sangat kontras jika dibanding dengan jumlah petugas KPPS yang juga meninggal pada pemilu 2014, yakni sebanyak 3 orang (kompas.com 11/04/2014).

Tidak hanya berhenti disitu, duka yang mendalam juga datang dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengabarkan bahwa setidaknya hingga per Senin kemarin (29/04), jumlah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang juga meninggal akibat kelelahan, telah mencapai 72 orang dengan jumlah yang sakit dan sedang menjalani rawat inap sebanyak 305 orang, dan 889 orang untuk yang rawat jalan, serta yang mengalami kecelakaan sebanyak 200 orang (nasional.kompas.com 29/04).

Muhammad Aulia Y. Guzasiah – Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Tingginya tuntutan pekerjaan yang harus dipenuhi secara spontanitas sesaat dan sesudah perhitungan suara yang dilakukan terhadap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, membuat baik petugas KPPS maupun Panwaslu sedikitnya harus menyisihkan waktu kurang lebih dari 12 jam untuk menyelesaikan rekapitulasi suara-suara tersebut,  berikut hal-hal yang bersifat tertib administratif lainnya.

Sayangnya, tingginya tuntutan dan jam kerja tersebut, tidak sebanding dengan minimnya upah yang ditetapkan berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-119/MK.02/2016, yakni hanya sebesar Rp. 550.000 untuk ketua KPPS, sedangkan anggotanya sebesar RP. 500.000. Padahal dengan tugas dan kewajiban yang relatif sama, besaran upah tersebut terlihat sangat timpang dengan upah KPPS-Luar Negeri (LN) yang ditetapkan sebesar Rp. 6.500.000 untuk ketua, dan Rp. 6.000.000 untuk anggota.

Hal lainnya, ialah tiadanya fasilitas atau jaminan sosial atas kesehatan dan ketenagakerjaan berupa jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kematian yang diperoleh. Kejadian yang menimpa salah satu petugas KPPS asal kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (kompas.com, 30/04), yang harus dirujuk ke rumah sakit karena didiagnosa menderita gejala tipus setelah bertugas hingga dini hari pasca perhitungan suara, namun lebih memilih menjalani perawatan dirumah karena tidak mampu menanggung biaya rumah sakit, tentunya adalah sebuah gambaran ironi.

Terhadap petugas KPPS dan Panwaslu yang meninggal, berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. 316/MK.02/2019 yang baru dikeluarkan pada 25 April kemarin, hanya diberi santunan sebesar RP. 36 Juta. Sedangkan bagi mereka mengalami cacat permanen, Luka Berat dan Sedang, masing-masing mendapatkan santunan sebsar Rp. 30.800.000., Rp. 16.500.000., dan Rp. 8.250.000. Angka-angka tersebut, tentunya tidak sebanding dengan kesehatan dan nyawa yang harus dipertaruhkan, serta sanak keluarga yang telah ditinggalkan.

Permasalahan ini tentunya patut menjadi renungan bersama, terutama dalam potret Hari Buruh Sedunia yang baru diperingati pada tanggal 1 Mei kemarin. Sebab meski hanya bersifat ad-hoc, namun petugas KPPS tetaplah masuk dalam rumusan Pekerja atau Buruh, yang berhak atas upah yang layak serta jaminan sosial, sebagaimana Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) menetapkannya demikian.

Dengan demikian, terlepas dari adanya beberapa wacana dan tawaran untuk mengubah kembali sistem pemilu kedepan, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Bawaslu, sudah seharusnya mengambil banyak pelajaran dari tragedi demokrasi ini. Bahwa satu nyawa belum tentu menyamai nominal ongkos penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Oleh karena itu, kesejahteraan dan keselamatan para KPPS, Panwaslu ataupun pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS), sudah seharusnya menjadi perhatian lebih.

Muhammad Aulia Y Guzasiah,

Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute

Auliaan@theindonesianinstitute.com

Komentar