Penyimpangan Pengaturan Hukum Elektronik dalam RKUHP

Harapan untuk memunculkan hukum pidana yang mampu memberikan perlindungan secara paripurna kepada masyarakat tampaknya sulit untuk terwujud. Beberapa pasal kontoversial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat ditolak oleh publik pada tahun 2019 ternyata tidak dihapus maupun diubah oleh pembentuk undang-undang. Padahal, terdapat potensi tergerusnya nilai demokrasi dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang digital ketika pasal-pasal tersebut tetap dipertahankan.

Tidak bisa diaksesnya naskah RKUHP terbaru membuat kita hanya dapat memantau muatan isinya melalui naskah yang pernah dibuka kepada publik pada tahun 2019. Salah satunya adalah Pasal 241 RKUHP yang mengatur pidana bagi penyebarluasan konten dengan muatan penghinaan kepada pemerintahan yang sah melalui sarana teknologi informasi dengan ancaman empat tahun penjara. Ketika ketentuan ini dijalankan, maka dapat dipastikan aparat penegak hukum akan bergerak secara serampangan atas nama menjaga harkat dan martabat pemerintahan yang sah. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana masalah yang selama ini ditimbulkan oleh pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE dan keberadaan virtual police yang pada akhirnya mempersempit ruang sipil.

Selain perlindungan kepada pemerintahan yang sah, RKUHP juga diupayakan untuk dapat memberikan perlindungan harkat, martabat, dan kehormatan kepada beberapa objek spesifik seperti presiden, wakil presiden, dan lembaga negara. Terkait dengan penyerangan martabat presiden dan wakil presiden melalui sarana teknologi informasi diatur dalam Pasal 219 RKUHP dan diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun enam bulan. Kemudian dijelaskan bahwa tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Sebuah ironi yang mengerikan.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej juga kembali menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menghapus pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), kendati pasal tersebut menuai kritik (tempo.co, 29/6/2022). Padahal, masih terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pemerintah bersikukuh untuk mempertahankan delik tersebut dalam RKUHP.

Pasal tersebut artinya memerintahkan presiden dan wakil presiden agar melaporkan masyarakatnya kepada pihak kepolisian ketika merasa bahwa kehormatan atau harkat dan martabat telah diserang. Pasal ini merupakan sebuah jebakan yang dapat membuat pemerintah jatuh pada otoritarianisme. Pimpinan negara dan pemerintahan yang seharusnya memberikan perlindungan malah berpotensi memenjarakan masyarakat.

Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan lex specialist dari ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP namun dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi informasi. Contohnya adalah penambahan delik pencurian data melalui internet sebagai ketentuan khusus dari pengaturannya yang lebih umum, yaitu pencurian biasa. Memunculkan pasal-pasal multitafsir akan menimbulkan masalah, terutama dalam proses penegakan hukum nantinya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden selaku pembentuk undang-undang harus menghapus beberapa pasal terkait dengan perlindungan martabat dan kehormatan—yang berlebihan—kepada presiden, wakil presiden, maupun lembaga negara.

 

Hemi Lavour Febrinandez
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian institute
hemi@theindonesianinstitute.com

Komentar