Pasca pemilu yang berlangsung pada 14 Februari 2024 masih meninggalkan cerita menarik. Salah satunya adalah keterlibatan kelompok penyandang disabilitas mental sebagai peserta pemilih. Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memperbolehkan pemilih kategori penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang memiliki hak suara pada Pemilu 2024 menjadi tantangan bagi para penyelenggara pemilu di daerah. Dengan total 1,1 juta penyandang disabilitas calon pemilih Pemilu 2024, terdapat sebanyak 264.594 penyandang disabilitas mental yang masuk sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) (Indonesia.go.id, 9/2/2024).
Meskipun demikian, terdapat sejumlah perhatian penting tentang bagaimana praktik ini dapat dilakukan khususnya kepada kelompok disabilitas ini. Praktik demokrasi yang dijalankan bukan hanya sebagai bagian kelompok partisan, namun juga diharapkan mampu menyerap aspirasi penyandang disabilitas mental. Pelaksanaan sistem demokrasi idealnya dapat merangkul dan menyertakan kepentingan seluruh masyarakat (inklusif).
Penyandang disabilitas mental (Orang Dengan Gangguan Jiwa/ODGJ) merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejumlah kerumitan masalah, baik dalam kemampuan menangkap persepsi panca indra, ketidakmampuan dalam melihat realitas sehingga terjadi distorsi antara dunia khayalan dengan dunia nyata, termasuk meningkatnya tingkat kecemasan karena peristiwa traumatis dan lain-lain. Gangguan yang diderita oleh ODGJ dapat bersumber dari sistem neurotransmitter otak yang diturunkan oleh keturunan sebelumnya (genetis). Selain itu, gangguan yang terjadi juga dapat ditemui oleh para pengguna narkoba. Oleh sebab itu, penyandang disabilitas mental pada umumnya melakukan sejumlah perawatan kolaboratif, yakni tidak hanya dengan menggunakan pendekatan psikologis, namun juga medis melalui obat-obatan (psikofarmasi). Tidak jarang, untuk mengurangi dampak dari penggunaan jenis obat tertentu, mereka diarahkan untuk dapat meningkatkan aktivitas fisik sederhana melalui kegiatan-kegiatan tertentu, seperti senam/olahraga, bimbingan kesenian, bimbingan mental dan psikologis termasuk kegiatan padat karya. Upaya tersebut dilakukan dalam satu sistem kesatuan yang disebut sebagai proses rehabilitasi.
Lebih lanjut, dengan situasi kerumitan yang dialami oleh penyandang disabilitas mental (termasuk jenis gangguan dan masing-masing penyebutan) dan sejumlah perawatan khusus, maka aktivitas pendidikan politik bukan tidak mungkin dapat diberikan kepada mereka. Aktivitas pendidikan politik yang diberikan kepada penyandang disabilitas dapat berupa mengenalkan pada konsep-konsep sederhana seperti voting (pemberian suara), di mana konsep tersebut juga dapat dipraktikan terutama sebelum menghadapi pemilu.
Namun, perlu diakui pelaksanaan kegiatan pendidikan politik tersebut akan menantang. Misalnya, ketika terjadi kekambuhan secara tiba-tiba atau penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam menyederhanakan suatu konsep. Para penyandang disabilitas mental yang sedang dalam masa perawatan umumnya tidak mampu berpikir terlalu berat. Oleh sebab itu, penting bagi penyelenggara pemilu dan penyelenggara kegiatan tersebut untuk dapat mempertimbangkan kriteria penting dan kebutuhan kelompok disabilitas ini. Hal ini penting dilakukan menimbang kelompok disabilitas mental (terutama jenis Skizofrenia) merupakan kelompok yang memiliki kerentanan terhadap situasi tertentu.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com