JAKARTA – Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pengabaian aspirasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut terlihat dalam proses revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta kelahiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja .
Proses pembahasan kedua undang-undang tersebut tetap melaju di tengah aksi massa dan kritik publik untuk menghentikan pembahasan yang dilakukan oleh DPR bersama dengan pemerintah.
Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII) menyayangkan dan mengkritik sikap DPR bersama dengan pemerintah yang tidak membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi publik untuk memberikan masukan dalam pembahasan suatu undang-undang.
“Padahal, Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah membuka ruang kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembentukan sebuah undang-undang.” ungkap Hemi lewat siaran persnya kepada SINDOnews, Kamis (22/4/2021).
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan tanpa melibatkan partisipasi publik juga rentan dimanfaatkan untuk melakukan praktik korupsi legislasi. Secara sederhana, korupsi legislasi dapat dipahami sebagai bentuk korupsi dengan menyelewengkan kewenangan dalam menyusun sebuah peraturan perundang-undangan.
“Dapat dipastikan produk undang-undang yang dibuat secara koruptif akan menimbulkan kerugian jangka panjang, baik bagi keuangan negara maupun mengakibatkan terancamnya hak-hak masyarakat,” jelas Hemi.
Hemi menyatakan bahwa pembuatan sebuah undang-undang dengan melibatkan partisipasi masyarakat harus terjadi dalam dua bagian yang saling terintegrasi.
“Pertama, transparansi dalam tahap proses pembahasan dengan tujuan agar masyarakat dapat berpartisipasi dengan menyampaikan pendapat-pendapatnya. Kedua, substansi atau muatan isi yang merupakan pokok materi aturan sebenarnya ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas, sehingga dapat terbentuk suatu produk undang-undang yang demokratis dan bersifat responsif,” terang dia.
Menurut Hemi, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan melalui internet-based consultation atau konsultasi publik melalui internet, seperti yang telah dilakukan oleh Belanda sejak tahun 2009. Caranya yaitu dengan mempublikasikan rancangan undang-undang yang sedang disusun, beserta informasi mengenai implikasi dari pengaturannya di webpage selama dua belas minggu dan setiap orang dapat memberikan masukan atas rancangan undang-undang tersebut.
“DPR bersama dengan presiden selaku pembentuk undang-undang harus mampu untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan mempertimbangkan kondisi pandemi saat ini, agar bisa menampung lebih banyak masukan. Hal ini dapat menjadi salah satu cara untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” pungkas Hemi.