Merefleksi Pembangunan Kesehatan dan Pendidikan Indonesia

Pebruari lalu, UNDP, Badan PBB yang fokus pada program-program pembangunan guna pengentasan kemiskinan di dunia meluncurkan Human Development Report (HDR) 2013. HDR adalah laporan tahunan yang dikeluarkan UNDP untuk mengukur pembangunan negara-negara di dunia. Salah satu indikator yang dilihat adalah bagaimana pelayanan publik bidang kesehatan dan pendidikan diselenggarakan (UNDP,2013)

Pada HDR 2013 ini, posisi Human Development Index Indonesia berada pada urutan 121, dan tergolong pada level Medium Human Development. Urutan ini sama persis dengan urutan pada tahun 2011. Namun untuk kategori Gender Inequility Index (GII), yang juga dirilis pada HDR 2013 lalu, posisi Indonesia merosot dari level 100 (pada HDR 2011) ke 106 tahun ini. Beda HDI dan GII terletak pada bahwa GII fokus melihat tingkat ketimpangan terhadap perempuan dari variabel-variabel yang sama dengan HDI.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, karena maternal mortality di Indonesia makin menurun dari 240 di HDR 2011 menjadi 220 di HDR 2013 (Susilo, 2013). Namun, seperti yang kita ketahui bahwa variabel pengukuran GII bukan hanya variabel tingkat maternal mortality, tetapi juga melihat  tingkat partisipasi perempuan di ranah publik. Publik dalam artian berhasil  menduduki jabatan di eksekutif/legislative maupun yang memiliki pekerjaan di luar rumah (labour participation rate). Selain itu, tingkat pendidikan tertinggi yang berhasil diduduki perempuan dan laki-laki, juga menjadi acuan (UNDP,2011)

Seperti yang telah disinggung pada paragraph di atas, bahwa komponen lain yang menentukan, yaitu pendidikan pada HDR 2013 menunjukkan bahwa ada kesenjangan pendidikan di Indonesia. Target pendidikan dasar tercapai, tetapi angka drop out SD tercatat sebesar 20 %.

Paparan dua komponen, kesehatan dan pendidikan di atas menimbulkan pertanyaan tentang pelaksanaan program-program terkait di Indonesia. Komponen pendidikan dan kesehatan adalah dua komponen utama dalam mengukur tingkat kemiskinan multidimensi disamping tingkat kelayakan standar hidup (UNDP,2013)

Berdasarkan hal itu, menjadi relevan ketika kita mengukur tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara dengan menyorot kedua hal tersebut. Dalam konteks Indonesia, kedua komponen ini sudah diatur dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia dan menyatakan bahwa mendapatkan pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan adalah hak warga negara Indonesia dan pemerintah selaku penyelenggara negara, wajib menyelenggarakannya. Untuk Implementasinya pun sudah dikeluarkan UU khusus terkait keduanya. Untuk pendidikan ada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan tentang Kesehatan ada UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

lola-ameliaDi dalam kedua UU tersebut selain membahas mengenai konsep-konsep pendidikan dan kesehatan juga diatur mengenai siapa pelaksana atau yang bertanggung jawab langsung atas program-program terkait, yaitu pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini juga paralel dengan diterapkannya kebijakan desentralisasi di Indonesia sejak 2004, bahwa Kabupaten/Kota sebagai wilayah otonom terkecil berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Terkait alokasi anggaran, untuk pendidikan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003, dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan mendapat alokasi minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD). Sedangkan untuk Kesehatan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009, pemerintah daerah tingkat Kabupaten/Kota wajib mengalokasikan dana paling sedikit 10% dari APBD mereka untuk kesehatan.

Namun, masih sangat banyak yang belum mengalokasikan dana sesuai ketentuan UU tersebut. Alokasi dana di sektor kesehatan misalnya, bukan hanya tidak sampai 10 persen dari APBD, tetapi juga peruntukkannya lebih ke operasional tenaga kesehatan dan alat (WRI, 2012). Terlebih berdasarkan evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah pada tahun 2012 lalu menemukan bahwa anggaran pemerintah daerah tingkat Kabupaten/ Kota sebagian besar dialokasikan untuk operasional pemerintahan termasuk gaji pegawai yang jumlahnya bisa sampai 70 %.

Melihat data dan temuan-temuan di atas, tidak mengherankan ketika angka Indeks Pembangunan Manusia Indonesia menurun. Namun, seyogyanya hal itu bisa dihindari. Indonesia telah mempunyai dasar kebijakan yang cukup jelas terkait pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan dari pusat hingga daerah. Namun, dalam implementasi yang masih kurang, terutama di level Kabupaten/Kota.

Selain pengawasan rutin dari Kemendagri atau pun dari Kementerian Kesehatan dan Pendidikan yang selama ini sudah berjalan, perlu tetap dilaksanakan. Namun, penting juga untuk memberikan punishment kepada daerah-daerah yang dinilai buruk, sehingga daerah-daerah tersebut tergerak untuk memperbaiki pelayanan di kedua bidang tersebut.

Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com

Komentar