Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dipicu oleh meningkatnya harga minyak mentah dunia. Seiring dengan invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina sejak bulan Februari 2022, harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) saat ini berkisar lebih dari US$100 per barel. Begitu juga dengan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP). Per bulan Maret 2022, ICP berkisar US$114,55 per barel, padahal pada bulan Februari masih berada di harga US$95,7 per barel. Hal tersebut membuat pemerintah melakukan penyesuaian terhadap harga pasar global terutama harga BBM nonsubsidi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperhitungkan bahwa harga BBM dengan jenis Pertamax yang Bulan lalu masih Rp9.000, belum memenuhi harga keekonomian yang seharusnya Rp16.000.
Lonjakan harga BBM Pertamax yang ditetapkan mulai 1 April 2022 oleh PT Pertamina Persero tentu akan menimbulkan permasalahan baru. Di tengah momentum memasuki bulan puasa dan Idul Fitri, serta upaya masyarakat di tengah pemulihan ekonomi, pengguna Pertamax akan mengalami perubahan dalam perencanaan keuangan. Peningkatan harga Pertamax yang cukup tinggi selisihnya jelas juga akan memunculkan pilihan keputusan ekonomi lain yang lebih efisien, seperti mengganti ke bahan bakar yang lebih murah.
Sudah menjadi hukum ekonomi, bahwa konsumen akan mencari alternatif barang pengganti untuk memenuhi kebutuhannya dengan harga yang lebih terjangkau. Pengguna Pertamax akan beralih kepada BBM jenis Pertalite, atau bahkan ke perusahaan penyedia bahan bakar lain yang harganya lebih murah. Pertalite merupakan BBM yang disubsidi oleh pemerintah. Peralihan konsumsi dari Pertamax yang sebagian konsumennya adalah penduduk dengan pendapatan menengah atas ke Pertalite akan membuat penyaluran subsidi menjadi tidak tepat sasaran.
Kenaikan harga Pertamax yang sedang dikaji oleh Pertamina mendapat tanggapan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka menilai bahwa apabila kenaikan harga per liter Pertamax tidak dilakukan, maka hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan kerugian yang dialami Pertamina serta berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (ekonomi.bisnis.com, 30/03/2022).
Terdapat tiga pertimbangan YLKI untuk menyetujui kenaikan BBM Pertamax. Pertama, presentase pemakai BBM Pertamax hanya 12-13 persen sehingga dirasa tidak terlalu berdampak pada inflasi. Berbeda dengan peningkatan harga Pertalite yang akan meningkatkan inflasi karena penggunanya mencapai 76 persen dari total penggunaan bahan bakar. Kedua, YLKI menilai bahwa BBM Pertamax tidak digunakan oleh angkutan umum dan mayoritas pengguna BBM yang memiliki nilai oktan 92 tersebut adalah kendaraan bermotor pribadi roda empat, dan Sebagian kecil roda dua (ekonomi.bisnis.com, 30/03/2022).
Ketiga, harga BBM Pertamax dalam negeri merupakan harga terendah di The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Tercatat di Singapura harga bahan bakar dengan nilai oktan 92 mencapai Rp30.800 per liter, di Thailand Rp20.300 per liter, di Filipina Rp18.900 per liter, dan di Vietnam Rp19.000. Adanya gap harga BBM dengan oktan 92, menurut YLKI akan dikhawatirkan memicu aksi penyelundupan ke negara lain. Hal ini membuat Pertamina sebagai badan usaha milik negara yang mengelola penjualan bahan bakar, berhak untuk menaikkan harga meskipun melalui persetujuan Kementerian ESDM (ekonomi.bisnis.com, 30/03/2022).
Senada dengan YLKI, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui penyesuaian harga BBM nonsubsidi yang tertuang pada poin kesimpulan pertemuan dengan Pertamina pada hari Senin (28/3/2022) (liputan6.com, 29/03/2022). Alasannya juga sama seperti YLKI, dikarenakan Pertamax belum sesuai dengan harga keekonomian dan untuk meringankan APBN.
Adanya peningkatan harga yang dikelola oleh Pertamina akibat perubahan harga minyak dunia membuat APBN menjadi membengkak karena subsidi bahan bakar yang diberikan juga tentunya akan meningkat. Namun, Pertamina juga perlu memperhatikan harga para pesaingnya juga untuk menutup kerugian akibat lonjakan harga minyak global.
Perusahaan selain Pertamina yang menjual BBM yang sejenis dengan Pertamax, RON 92, menjualnya dengan harga yang bervariasi. Diantaranya VIVO, Rp11.900 per liter, BP-AKR seharga Rp12.500 per liter, dan Shell Rp12.990 per liter. Maka dari itu, apabila Pertamina menjual Pertamax dengan harga di atas harga pesaing, niat untuk menutup kerugian pun akan pupus karena perubahan perilaku konsumen yang bertindak ekonomis.
Dengan demikian, agar tidak menyebabkan kerugian yang besar pada Pertamina dan APBN karena fluktuasi harga minyak mentah dunia, subsidi bahan bakar yang diberikan perlu dikaji ulang. DPR bersama Kementerian ESDM perlu mengubah alur subsidi. Besarnya selisih antara BBM subsidi dan nonsubsidi akan menyebabkan migrasi konsumen dan berujung pada kelangkaan BBM subsidi. Pertamina sebagai pengelola bahan bakar juga perlu untuk menata manajemen pemasarannya agar tetap bersaing dengan penyedia bahan bakar lain untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)